Delapan
tahun.
Mari kita hitung kembali, sembilan puluh
enam bulan, tiga ratus delapan puluh empat minggu, dua ribu delapan ratus
delapan puluh hari, jutaan jam dan ratusan milyar sekon. Sebanyak itulah dia
hadir dalam hidupmu. Dia, seseorang yang kau puja hingga muak. Dia, seseorang
yang hadir di antara batas realita dan imaji. Dia, seseorang yang telah
menyeret hatimu dalam perjalanan hati yang tiap hari kau agungkan. Delapan
tahun adalah masa yang kau persembahkan dengan mengatasnamakan ketulusan.
Sewindu.
Sebanyak itulah cinta membeku dalam
tabungan hatimu. Hitunganku tentang tahun, bulan, minggu, hari, jam ataupun detik yang kau
habiskan bersama dengannya masih sangat mungkin salah, karena aku bukanlah
mesin kalkulator yang pandai berhitung. Namun kau lain, kau homo sapien yang
dianugerahi dengan daya matematika di atas rata-rata. Dengan akurasi yang
kadang mencengangkan logika. Segala sesuatu bagimu adalah angka-angka tidak
terkecuali cinta. Tidak juga kehadiran, pengorbanan, kesetiaan, rayuan,
gombalan, keromantisan atau bahkan kehilangan. Semua akan kau formulakan dalam
angka-angka yang nantinya akan kau simpan hati-hati di file memori otakmu. Agar
nanti jika kau butuh, tinggal membuka file yang kau inginkan. Dan terbukalah
semua memorimu bersamanya. Yang membuatmu kepayang sekaligus terdera. Madu dan
racun dalam satu tablet dengan kombinasi sempurna yang kau beri judul
‘kenangan’.
Kepalamu memang sama baiknya dengan sebuah
komputer. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dia kau simpan baik dalam kenanganmu
yang tak pernah mengusang. Tanggal pertama kali bertemu, jam berapa dia pertama
kali menelponmu, jam berapa pertama kali menggenggam tangannya, tanggal berapa
terikrar janji itu, tanggal berapa kalian pertama makan malam bersama. Kau
mengingatnya dengan sangat akurat. Hingga sekat pembeda antara bualan atau
kenyataan telah melebur dalam logika yang kau namai ‘cinta’.
“Aku mencintainya lebih dari yang kau tahu.”
Begitu ucapmu selalu.
Namun sayangnya, tidak semua kenanganmu
tentang dia adalah sebuah kotak penuh
gulali manis. Malangnya, duka lebih banyak memayungi langit di kepalamu.
Telah hampir muak kau membagi segala pahit yang menulikan telinga, menawarkan
hati yang berulang kali terluka, melangkah lagi di alas duri yang sama.
Berulang kali juga dia memporak-porandakan segala keyakinanmu. Namun kau bagai
malaikat yang kesiangan turun dari surga. Sayap maaf kau lebarkan sepanjang
mungkin untuk dapat merengkuh kesalahannya. Kau berkata syahdu bak pujangga
cinta untuk mentolerir kebodohanmu dengan satu ayat berbunyi ‘pengorbanan’.
“Aku menerimanya dengan segenap rasa yang kumiliki.” Ujarmu dengan khusyuk.
“Hatimu hanya bisa mengemis rasa darinya.”
Balasku dengan sengit.
Kau tetap tidak peduli. Ketulusan telah
membawamu begitu jauh, sangat jauh malah. Dalam lorong pekat yang kau namai
dengan segala hal yang wangi. Hal itu kau lakukan semata-mata agar kau terus
bemimpi, menutup mata bahwa hatimu telah begitu tersakiti.
Suatu waktu kau dapat memujanya dengan
ribuaan puisi yang kau tulis, dengan pesan-pesan singkat nan romantis yang kau
sadur dari penyair ternama, dengan bait-bait doa yang lirih kau ucapkan. Sebuah
harapan yang kau genggam erat hingga mengaburkan segala logika. Namun
terkadang, kau juga membenci segala kebodohanmu, merutuki ketidak berdayaanmu
dihadapannya, terjebak lagi dalam lubang cinta dan luka yang sama,
tertatih-tatih untuk kembali menemukan jalan pulang. Kemudian seketika kau
berdalih, bahwa yang kau kecap selama ini adalah sebuah ketulusan. Ketulusan
adalah refleksi langsung dari sebuah cinta, jalur bebas hambatan menuju rasa
yang sejati, begitu ucapmu selalu. Tanpa segan, kau mulai berhitung lagi.
Tentang ketulusanmu untuk dia yang menjelma lewat pagi-pagi, siang-siang atau
malam-malam yang kau habiskan untuk menunggunya, mengharapkannya, memujanya, mencintainya
atau juga mengemis rasa atasnya. Rentang waktu yang kau habiskan untuk berada
dalam dimensi penuh larik-larik keindahannya yang terpahat rapi di dinding
hatimu. Namun bisakah itu disebut ketulusan jika diukur-ukur, jika
dihitung-hitung? Setahuku segala sesuatu yang sudah berkaitan dengan nalar
untung dan rugi tak pantas lagi disangkutpautkan dengan aliran dalam hati.
Karena nalar hanya akan membuat aliran itu menjadi pampat. Ketulusan bukan lagi
ketulusan ketika ia sudah mulai bersanding dengan logika perhitungan.
Sudah kuduga.
Akhirnya, tanganmu terpaksa meraupkan
penyesalan ke wajahmu. Dia yang selama ini kau puja bertahun-tahun, yang kau
kira juga memendam ekspektasi akan cinta yang sama denganmu ternyata memilih
untuk berpaling. Memilih untuk lepas dari pelukanmu yang meringkih. Delapan tahun ternyata tak
berbekas apapun baginya. Hanya sekedar bintang jatuh yang numpang lewat di
hidupmu. Kilau cahayanya hanya membuatmu hancur tak berbekas. Seketika duniamu
berubah getir dan melambat. Seakan tiap detiknya terasa mengiris kulitmu. Tiap
waktu yang bergulir hanyalah kiamat yang bergerak menuju ke arah dan
kesadaranmu.
Kau menyesal pernah mengingat. Merutuki
kesempatan yang diberikan sang takdir untuk memberinya ruangan di memorimu. Kau
ingin amnesia, mendadak lupa apapun yang berbau tentang namanya. Hingga kau
ingin menghapus habis tanpa sisa kenangan tentang dia. Tentang angka-angka itu,
tentang harapan itu, tentang ketulusan itu, tentang delapan tahun itu. Semua
ingin kau distraksi dari otakmu. Seandainya saja otak bukan hanya menyimpan
kecerdasan namun juga tempat sampah pasti kau akan menempatkan kenangan itu
disana semua. Membuangnya tanpa sisa. Namun otak memang dirancang untuk tak
pernah berbaik hati kepada manusia. Kenangan yang mati-matian ingin kau lupakan
malah membekas begitu dalam disana, memenuhi segala ruang dan membuat tak ada
pilihan lain bagimu selain terkapar.
Menjelmalah semua kenangan itu menjadi hantu
yang membayangimu seumur hidup. Menjadi racun yang perlahan menyerang vitalitas
jiwamu. Menjadi virus yang menjangkiti kepala komputermu. Sayangnya kepala
komputermu tak pernah menyediakan Norton AntiVirus untuk mengantisipasi virus
yang menyusup tersebut. Kau tak bisa melakukan apapun selain melihat virus
tersebut memporak-porandakan semua yang kau miliki. Rasakanlah, hati yang
mengkerut karena pegkhianatan. Karena ketulusan bukanlah dalil bahwa cinta
pasti menjadi kata-kata merdu yang selama ini kau rindu. Lalu, apa yang bisa
kau lakukan?
Yang bisa
kau lakukan hanyalah menerima.