Dua tiket impian sudah
ada di genggaman semenjak dua puluh tiga hari yang lalu. Ada sensasi luar biasa
ketika telapak tangan dapat menyentuh benda tersebut. Perjalanan panjang nan
melelahkan memang selalu menuju ke satu titik. Dan titik itu terlingkar di sebuah
penanggalan yang membulat di angka 19 di bulan kedelapan. Bagi orang lain,
barangkali tidak ada yang istimewa dengan tanggal tersebut namun tidak bagi
pemilik benda tersebut. Karena sang pemberi inspirasi akan memperlihatkan bahwa
segala sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tidak pernah
menghasilkan kesia-siaan. Semua diawali dengan perjalanan menembus udara kota
Purwokerto yang biasanya bersahabat namun tidak bagi saya waktu itu. Flu dan
tidak enak badan adalah parasit saya hari itu. Namun, apabila saya mengalah
hanya karena flu dan tidak enak badan lalu mengagalkan rencana bertatap muka
langsung dengan sang pemberi inspirasi tentu saya pantas dimasukan satu penjara
dengan Malin Kundang.
Saya tiba di lokasi
tepat setengah jam sebelum acara dimulai. Tidak ada yang istimewa dari
peristiwa tersebut kecuali ketika pemeriksaan tas sebelum masuk. Seorang panita
dengan kacamata besar meneliti isi tas saya dengan runut. Mulutnya terus
komat-kamit seakan tengah membaca mantra. Hingga dia menatap mata saya dengan
mata jenaka dan bertanya:
“Mas, tidak bawa pistol kan?”
Saya tahu pertanyaan itu adalah sebuah gurauan apalagi dengan nada bercandanya yang khas. Aku juga ingin membalas dengan gurauan lainnya juga seperti:
“Nggak kok mas. Saya cuma bawa bom rakitan!”
Namun selera humorku melayu ditelan oleh flu dan lebih memilih untuk membalas gurauan tersebut dengan senyuman tipis. Tidak perlu waktu lama, untuk membuat sebuah ruangan yang telah disulap menjadi panggung untuk kemudian penuh sesak diisi oleh orang-orang yang memiliki motivasi sama denganku. Diawali dengan insiden “salah kursi” akhirnya kursi dengan nomor yang tepat berhasil didapatkan. Suasana yang tadinya riuh mendadak hening ketika lampu dimatikan. Kita semua tahu bahwa ini bukan waktunya untuk bicara namun untuk melihat dan merasakan. Bukan hanya untuk sebuah hiburan namun sebuah energi yang barangkali hanya bisa didapatkan di tempat tersebut.
Acara diawali dengan
alunan musik magis namun romantis yang dibawakan secara sempurna oleh orang-orang
yang menggunakan kostum serupa dan menamai diri mereka sebagai “Sakarepe
Percussion”. Saya tidak tahu latar belakang pemberian nama tersebut, karena
“Sakarepe” bila diartikan secara bebas artinya adalah semaunya sendiri. Namun
bila melihat bagaimana mereka memainkan
perkusi tentu mereka tidak bermain dengan metode “Sakarepe”. Mereka bermain
musik dengan indah, cantik dan sangat memperhatikan estetika. Membuat semua
penonton dirundung oleh suasana musik yang unik dan juga eksotis.
Kemudian dilanjutkan
dengan kehadiran sang maestro tari asal Indonesia yaitu Didi Nini Thowok.
Langkah pertamanya di panggung saja sudah mampu membuat orang terhibur.
Geraknya yang gemulai, tariannya yang indah dan selipan-selipan humor khas
miliknya yang membuat suasana acara tersebut menghangat. Hangat yang kemudian
berubah menjadi keterikatan antara sang penghibur dan penonton bahwa mereka
berada di sana dan dipertemukan karena sebuah tujuan yang entah apa. Namun Didi
Nini Thowok sekali lagi (dan lagi) menunjukan bahwa seni dapat membawanya
kemana-mana. Membuat mereka yang mengaku sebagai pemuda seharusnya malu bila
terus-terusan mengarahkan kiblatnya ke Barat.
Namun kami semua yang
berada di ruangan tersebut menyadari bahwa hanya ada satu manusia yang menjadi
alasan terbesar kami berdesak-desakan disana. Ketika cahaya meredup bahkan bisa
dibilang menghilang, kami dengan rasa was-was menanti kehadiran satu manusia
tersebut. Bahkan saya harus menahan rasa nyeri di dada karena tidak sabar
melihat sang idola. Tapi kesabaran kami kembali diuji ketika para panitia
menyadari ada yang kurang sempurna dari peralatan musik di panggung. Sehingga
improvisasi dan perbaikan harus dilakukan. Sekaligus membuat nada-nada kecewa
tidak bisa disembunyikan.
Hingga gumpalan kekecewaan tersebut memecah menjadi teriakan bahagia dari para penonton ketika pria berbadan subur tersebut menginjakan langkah pertamanya di panggung. Lampu sorot langsung tertuju kepada pria dengan Kemeja warna hitamnya yang seakan membaur dengan desain panggung. Namun ada satu yang tidak pernah hilang darinya, binar mata yang memancarkan ketulusan, tak ubahnya seperti nama yang ia miliki.
Hentakan musik langsung
menarik penonton dalam pusaran penampilannya. Aku sendiri hapal betul dengan
intro dari hentakan musik tersebut yang hanya bisa kubisikan dalam hati “Baru”.
Begitulah judul lagu untuk menjadi pembuka penampilannya yang selalu bisa
membius orang-orang yang berada dalam radius auranya. Tak perlu waktu lama
untuk kemudian membuatnya menjadi pusat perhatian. Apalagi dengan gestur
ramahnya yang tidak pernah luntur. Sebagian penonton ada yang ikut bernyanyi,
sebagian yang lain hanya bisa menggerakan badan mengikuti irama.
Sedangkan aku? Aku masih perlahan mencerna kebahagiaan dengan daya yang dapat melesakanku kapan saja ini. Lalu hentakan musik bergulir ke lagu ke dua, ke salah satu judul lagu yang paling sering saya dengar di pagi hari. Dengan satu motivasi yang tidak pernah berubah yaitu menjaga api semangat agar tidak gampang pudar. Diawali dengan pria tersebut yang meminta seluruh penonton untuk berdiri dari kursi kami yang nyaman. Kami semua bagaikan disihir oleh kalimat tersebut, mengikuti apa saja titah yang keluar dari mulutnya. “Lagu Untuk Matahari” pun resmi berkumandang. Entah sihir apa yang diselipkan dalam lagu tersebut hingga mampu membuat seluruh penonton terbakar api semangat yang mengelagakan dada dan dengan suka rela mengeluarkan suara terkuat dari tenggorokannya untuk bersama-sama bernyanyi. “Jeritan” penuh semangat dan motivasi pun memenuhi ruangan. Membuat siapa saja yang masih memiliki hati pasti akan gemetar merasakannya.
Lakukan yang kau suka.. Hidupmu bukan
hidupnya.
Satu baris lirik yang
entah kenapa selalu terdengar lebih keras ketimbang bait dari lirik lainnya.
“Ini adalah lagu untuk selalu berpikir positif.” Begitu
ujar pria yang memiliki julukan Tuan Gajah tersebut untuk mengakhiri lagu yang
menguras emosi ini. Kemudian kami semua dengan suka rela ikut terhanyut dalam
lagu-lagu selanjutnya yang dibawakan oleh pria yang berasal dari Bukittinggi
ini. Dia memang adalah sebuah ombak yang terlalu besar untuk ditahan oleh siapa
saja. Hanya ada satu pilihan bagi kami yaitu ikut terbawa arus ombak tersebut.
Gajah, Jangan Cintai Aku Apa Adanya, Bumerang, Kisah Sebentar dan Juwita Malam
kemudian menjadi penyaji berikutnya. Semua dibawakan dengan suara merdu tanpa
cela. Penampilannya diselingi dengan kalimat berbagai pengalaman bahwa ini
adalah kali pertamanya menginjakan kaki di kota kecil bernama Purwokerto. Tempe
Mendoan dan Getuk adalah sedikit makanan yang ia buru di kota kecil ini.
Membuat kami sebagai tuan rumah ikut kecipratan sedikit bahagia dan bangga
karena jenis makanan yang hampir setiap hari kami temui dapat dirasakan juga
oleh sang idola.
“Jujur, ini adalah kali pertama saya menginjakan kaki di
kota ini. Purwokerto adalah sebuah kota yang kecil namun indah. Saya berniat
untuk suatu saat nanti bisa kembali lagi ke sini.” Pungkasnya dengan mata
berbinar.
Hingga akhirnya sebuah
lagu yang begitu difavoritkan oleh diri sendiri dibawakan juga. Lagu inilah
yang menjadi penyambung saya untuk mendengarkan lagu-lagu berikutnya dari Tuan
Gajah ini. Saya masih ingat betul moment pertama kali mendengarkan lagu ini.
Termenung dan tidak bisa berkata sambil menahan mulut agar tidak terbuka lebar.
Penyambung yang kemudian membuat saya mengikuti karyanya dan akhirnya saya
terpikat. “Sepatu” adalah apa yang saya maksud. Sebuah lagu yang terdiri dari cerita
yang sebenarnya biasa namun ia analogikan dengan cerdas disisipi dengan diksi
yang menawan. Siapa pula yang tidak terpikat? Saya menyebut dia sebagai musisi
anomali ketika yang lain masih sibuk
berkutat di inspirasi yang sama. Tuan Gajah bukan hanya mengetuk pintu
inspirasi namun dia mendobraknya
sekaligus.
Namun waktu memang
selalu menjadi musuh bagi siapapun yang tidak ingin melepaskan moment tersebut.
Lagu terakhir akan segera dipersembahkan. Namun Tuan Gajah dan kami sama-sama
mengikrarkan janji atau lebih tepatnya hutang. Kami berhutang kepada Tuan Gajah
bahwa akan selalu mengapresiasi karya-karyanya sedangkan Tuan Gajah berhutang
kepada kami untuk segera menyelesaikan album ketiganya dan kembali lagi kesini
suatu saat nanti. Selain itu, kami juga saling memberikan energi. Energi yang
tidak lagi membakar namun hangat kekal. Bukankah itu yang semua orang cari?
“Tepat
di saat hari buruk menyerang. Tenang saja, masih banyak hari baik yang menunggu
giliran.” Tulus
wuhuuu..
ReplyDelete