Caffe Latte. Machiato.
Espresso. Capucinno.
Kami bertiga
sepakat untuk menggeleng. Rentang empat tahun bukanlah sekejap mata. Deru
pertemuan yang menggebu tidak pantas dirayakan dengan cangkir-cangkir kopi tak
berkesan tersebut. Kami telah menentukan satu cangkir kopi yang akan menyatukan
kami semua. Satu cangkir kopi yang juga menjadi permulaan persahabatan kami
tujuh tahun yang lalu. Cangkir Kopi yang telah menjadi saksi bahwa persahabatan
bisa terjadi meskipun tak terhitungnya perbedaan yang dimiliki. Kopi Luwak.
“I’m still confused by the concept of Luwak
Coffe. Bukankah kita sama saja minum kotoran binatang? And strangely we loved it!” Ujar Darwin dengan tergelak.
“Yes, we are!” balas kami berdua.
Masih
tergambar jelas, kenangan tujuh tahun lalu ketika Darwin pertama kali mencicipi
kopi Luwak untuk pertama kalinya di tempat ini. Darwin yang berasal dari
Amsterdam dan buta soal kopi apalagi jenis Kopi Indonesia, menduga bahwa Luwak
adalah nama penyanyi Metal yang sedang naik daun. Dengan mata yang bercampur
antara ragu dan juga penasaran, seruputan pertama dilakukan Darwin untuk
cangkir pertama Kopi Luwaknya. Setelah itu kombinasi matanya berubah menjadi
berbinar dan juga berseri. Ia kemudian berteriak senang sembari sedikit mengupat,
betapa unik dan enaknya rasanya kopi yang pertama kali baru ia rasakan
tersebut.
Namun binar
di matanya hanya bertahan tidak lebih dari satu menit. Binar itu lantas
kuhancurkan dengan menjelaskan proses terciptanya Kopi Luwak. Kujelaskan bahwa
semuanya diawali dengan para petani kopi yang hanya memilih kopi-kopi warna
merah mengkilat untuk dipetik. Setelah itu mereka merendam kopi-kopi merah
tersebut dalam bak penuh air. Hal tersebut dilakukan untuk memilah mana biji
kopi yang telah matang dan mana
biji kopi yang belum sempurna. Dimana
biji kopi yang baik akan tenggelam sedangkan yang tidak akan mengapung dengan
sendirinya. Biji kopi yang sempurna segera dimasukan ke kandang Luwak untuk
dimakan binatang tersebut. Luwak tersebutlah yang kemudian dengan indra
penciumannya akan memilah kembali mana biji kopi paling matang sekaligus paling
sempurna untuk dia makan. Di dalam perut Luwak tersebut nantinya biji kopi
tersebut akan mengalami proses fermentasi. Barulah biji kopi yang telah
mengalami proses fermentasi dan dikeluarkan dari perut Luwak akan diproses
menjadi Kopi Luwak.
Setelah
menjelaskan hal itu, Darwin tidak bisa menutupi rasa terkejutnya, “What the…? Eww….Shit!”
“Yes, shit.” Aku tidak bisa menahan sakit
di perutku melihat ekpresi gado-gado yang diperlihatkan dari wajah Darwin.
Lama Darwin
tercenung menatap penuh dilema pada cangkir Kopi Luwak yang ada di depannya.
Aku tidak tahu perang batin macam apa yang sedang terjadi di kepala Darwin yang
tertutupi rambut cepak warna pirangnya tersebut. Hingga kemudian seperti orang
yang baru saja mendapatkan inspirasi, Darwin lantas menarik nafas panjang dan
juga dalam. Ia menatap kami berdua dan berujar, “Whatever, I loved it!” setelah itu Darwin menandaskan Kopi Luwak
yang ada di tangannya. Disambut kami berdua yang hanya bisa terkik. Ya kami,
aku dan Angel. Angel, Malaikatku.
“Nggak kerasa
ya, udah empat tahun saja kita nggak ketemu.” Angel melirikku, membuatku segera
kembali ke masa kini. Sekaligus membuat debar Jantung misterius yang telah lama
menghilang kembali lagi. Hanya malaikatku yang mampu melakukan itu.
“Kalian tuh
yang sibuk jadi arsitek di luar negeri. Dasar nggak nasionalis.” Sambungku
dengan menggerutu.
“Yah mau
gimana lagi, aku kan waktu itu statusnya masih arsitek junior. Nebeng abangku
pula. Jadi waktu kantor abangku pindah ke New York, aku terpaksa ikut. Tapi aku tetap nasionalis kok.
Buktinya selama di New York, aku tetap beli albumnya Anggun C. Sasmi sama
sekali-kali dengerin lagunya Meggy Z dan Rhoma Irama kok. Sueer!” ucap Angel dengan
wajah yang dibuat sepolos mungkin.
Aku
mengalihkan perhatianku kepada Darwin. “Kalo lo gimana bule?”
“Me? Are you jokes? First, I’m not one
hundred persen Indonesian. Darah
Nenekku yang orang Surabaya bakal kalah dikeroyok sama darah kakekku, Bapakku
dan ibuku yang sama-sama punya darah Belanda. Kedua, kesejahteraan di Belanda
lebih terjamin. So yes… saya lebih
pilih kerja di Amsterdam. Bye.. bye..
Bambang Pamungkas. Hidup Van Nistelrooy!” Jawab Darwin dengan menggebu.
“Oh ya gue
lupa. Lo kan penjajah.” Balasku.
“Damn it!”
Angel kembali
menatapku membuat dadaku lantas diserang ngilu. “Oh ya Vito, aku denger kamu
baru saja nyelesain proyek pembangunan Rumah Sakit di Bandung ya? Kereen.”
Aku
mengangguk pelan sembari berusaha menutupi wajahku yang mendadak memerah.
“Rumah Sakit?
Aku pikir, cuma sifat kamu saja yang kaku ternyata sampai ke kerjaan arsitek ikut-ikutan
juga? Sebentar lagi kayaknya kamu bakal ngerjain proyek gedung Rumah Sakit
Jiwa. Boring!” Darwin ikut menyahut.
“Boring? Itu namanya sesuai dengan STEFA
(Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur), meneer.
Lagipula buat apa bikin bangunan yang kebanyakan gaya. Yang penting dalam
membangun sebuah bangunan itu fungsional dan tahan lama.” Aku tidak mau kalah.
Darwin
menatapku dengan geli, “Ya .. ya, saya lupa kamu kan penganut ajaran Tadao
Ando. Arsitek asal Jepang yang selalu bilang ‘Kesahajaan pada karya-karya
arsitek yang menekankan pada konsep sensasi dan pengalaman fisik adalah sesuatu
yang … whatever itulah.” Darwin
menutup kalimatnya dengan geleng-geleng kepala.
Kupingku
tersengat mendengarnya. Empat tahun tidak bertemu dan sekalinya bertemu, Bule
penjajah ini seenak jidat mencibir arsitek idolaku. Tak pernahkah ia membaca
buku bahwa Tadao Ando tidak pernah mengenyam pendidikan arsitektur dan
mempelajari semua ilmu arsitektur secara otodidak? Bahkan ia menjadi seorang
sopir truk dan petinju sebelum menjadi seorang arsitek. Ingin rasanya aku
menabraknya dengan truk di ring tinju. “Aku sudah lihat rancangan rumah tropis
futuristikmu itu! Kamu bilang itu futuristik? Itu lebih mirip rumah alien.”
Balasku tak kalah sengit.
“Itu karena
mental otakmu yang masih old school.”
Darwin kembali menjawab.
Perseteruan
diantara kami berdua terhenti sejenak ketika ada pelayan yang menghidangkan
tiga cangkir Kopi Luwak yang telah kami pesan. Setelah tiga cangkir itu tersaji
sempurna, aku ingin melanjutkan perdebatan tersebut. Namun sebelum itu terjadi
ternyata Angel lebih dulu memilih bersuara, “Di New York, aku pernah bantuin
abangku buat ngerancang bangunan untuk sebuah yayasan amal. Memang sih
konvesional tapi mengetahui fungsi dan manfaatnya ketika bangunan itu sudah
jadi, ada kebanggaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Aku juga pernah
ikut proyek kecil-kecilan untuk merancang ruang bawah tanah buat salah satu
jutawan yang kebingungan ngabisin waktu senggangnya. Futuristik membutuhkan
imajinasi dan keterampilan, itu menyenangkan. Jadi bisa dibilang aku menikmati
keduanya,” ujar Angel sembari menyeruput cangkir yang telah ada di hadapannya.
Aku dan
Darwin hanya diam sambil saling menatap satu sama lain. Setelah meletakan
cangkir kopinya, Angel kembali melanjutkan kalimatnya, “Selama masih mematuhi
tiga nilai dasar dalam ilmu arsitektur yaitu struktur, fungsi dan keindahan,
mau konvesional kek, mau futuristik kek, nggak ada bedanya. Nggak ada yang
lebih baik ataupun yang lebih kurang. Itu semua hanya soal selera.”
Resmi sudah,
kalimat dari Angel barusan memadamkan api pertikaian antara aku dengan Darwin.
Empat tahun tidak bertemu namun ternyata tidak pernah ada yang berubah dari
kami bertiga. Darwin tetap si bule brengsek yang mau menang sendiri, aku tetap
si kaku yang kadang saklek dan Angel adalah malaikat yang selalu mampu menjadi
penengah diantara kami berdua. Selama empat tahun atau bahkan tujuh tahun, ada
juga satu hal yang tidak pernah berubah. Yaitu perasaanku yang mengendap lama
untuk Angel, sahabat terbaikku. Perasaan
yang akarnya telah jauh mengendap di dadaku. Dan hari ini kuputuskan untuk
memberitahu semuanya.
******
Aku menghirup
secangkir kopi Luwak dengan perlahan-lahan. Ada kenangan lama yang entah kenapa
juga ikut terhirup bersama larutan kopi tersebut. Apalagi dengan suasana
Fulcaff Café yang tidak terlalu banyak berubah. Kombinasi antara Kopi Luwak dan
juga tiap sudut dari Fulcaff Café lantas membuat kenangan lama ikut menyeruak.
Kenangan ketika kami bertiga baru pertama kali bertemu. Aku yang semenjak lama
lahir dari keluarga arsitektur telah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang
arsitek. Dan pilihan utamaku waktu itu adalah ITB jurusan arsitektur. Namun
sayangnya, aku malah terdampar di Universitas Katolik Parahyangan walaupun
masih dengan jurusan yang kuinginkan yaitu arsitektur. Namun ternyata disanalah
segalanya bermula.
Tak perlu
mantra khusus untuk membuat Darwin Rijkaard menjadi pusat perhatian seluruh
mahasiswa. Tentu dengan kulit asingnya, rambut pirangnya dan bahasa
Indonesianya yang beraksen Belanda sudah cukup menjadi alasannya. Namun aku
baru tahu bahwa sesungguhnya yang membuat Darwin menjadi pusat perhatian
terutama bagi kaum hawa adalah bola matanya yang berwarna biru mengkilat.
Membuat banyak orang rela betah berlama-lama mengobrol dengannya. Ayah dari
Darwin nyatanya sedang mendapatkan pekerjaan di Bandung waktu itu, membuat
mereka sekeluarga harus ikut bersamanya. Untungnya Neneknya yang memiliki darah
Surabaya dan kombinasi bahwa waktu kecil dia pernah tinggal di Depok untuk
beberapa waktu membuat Darwin mudah beradaptasi. Waktu kuliah banyak yang tidak
percaya bahwa aku berteman baik bahkan dekat dengan Darwin. Darwin yang populer
tentu banyak yang berpendapat tidak cocok disandingkan dengan aku yang sunyi
senyap. Aku sangat setuju dengan hal itu. Malah aku sendiri kadang masih heran,
bagaimana persahabatan itu bisa tercipta. Aku jarang sepakat dengan Darwin. Kami
lebih sering berdebat. Dia percaya reinkarnasi sedangkan aku lebih percaya
evolusi. Aku lebih suka mendengarkan Frank Sinatra sedangkan dia malah tergila-gila dengan Metallica. Dia mengagumi Clavatra Santiago sedangkan aku
tidak bisa berpaling dari Tadio Ando. Aku suka bakso sedangkan dia malah suka
Soto. Namun kami berdua layaknya dua kutub yang berbeda namun kemudian ditakdirkan
malah saling tarik menarik.
Namun
perhatianku sesungguhnya terfokus pada Angel, malaikatku. Bagiku, dia adalah
embun yang mengendap-endap di pagi hari. Dia datang tanpa perlu alasan namun
kehadirannya selalu menyejukkan. Pertama kali aku mengenalnya karena dia duduk
tepat di depanku. Jikalaupun surga harus kudefinisikan. Barangkali cukup
punggung itu. Sepetak tanah surga yang setiap waktu ingin kucoba untuk diraih.
Nirwana yang ada di depan mata namun tangan ini terlalu jauh untuk
menggapainya. Dan ketika punggung itu berbalik, keberanianku melenyap entah
kemana. Padahal menurut Angel aku adalah sahabat terbaiknya setelah Darwin
tentunya. Dia beralasan bahwa tidak pernah ada teman curhat sehebat aku. Ya
teman curhat… tidak kurang apalagi lebih, terima kasih. Sudah berulang kali,
aku mendengar berbagai macam pria yang mampir di hati Angel dan pergi tanpa
permisi. Dan selama itu pula aku selalu tahu posisiku dimana. Orang yang akan
selalu menyediakan pundaknya agar Angel bisa menangis sepuasnya atau bahkan
mengumpat sepuasnya. Aku tidak pernah memilih pergi meskipun aku selalu tahu bahwa
bukan aku orang yang ditangisi oleh Angel maupun yang diumpat olehnya. Aku
adalah orang yang dicari ketika hatinya pincang dan kelenjar air matanya ingin
meledak. Selama bertahun-tahun tidak
pernah aku cacat dalam menjalankan profesi tersebut. Sembari terus berharap
bahwa akan ada kesempatan terbaik untuk mengungkap segala perasaan yang
dimiliki.
Hingga
kemudian kesempatan tersebut tidak pernah datang malah diganti dengan kenyataan
bahwa kami bertiga harus berpisah. Setelah berhasil lulus kuliah, kami memiliki
jalan masing-masing. Darwin kembali ke kampung halamannya yaitu Amsterdam untuk
mengejar karirnya sebagai arsitek disana, sedangkan seperti yang diketahui
Angel pergi ke New York bersama dengan abangnya sedangkan aku lebih memilih
untuk bertahan di tanah air. Belanda, Amerika dan Indonesia. Tiga Negara dimana
kami terpisah. Amsterdam, New York dan Bandung. Tiga kota dimana cita-cita kami
gantungkan. Fulcaff Café dan Kopi Tubruk, kombinasi yang lantas menyatukan kami
bertiga setelah empat tahun berjarak. Persahabatan dan cinta, dua rasa yang
saling berkejar-kejaran di pikiranku saat ini.
******
Kopi milikku
tinggal separuh. Namun jantung ini tak hentinya berdebar tidak karuan. Nyatanya
sebelum mereka berdua sampai di kafe ini, aku terlebih dahulu menyiapkan sebuah
rencana. Yaitu dengan mengajak bekerja sama barista di tempat ini dan
memintanya membuat coffe latte art sesuai permintaanku. Yaitu latte art
berbentuk wajah dari malaikatku, Angel. Dengan memberikan foto Angel dengan
angle terbaik yang selalu kusimpan di dalam dompetku. Dimana nantinya kopi
latte art itu baru akan disajikan kepada Angel sesuai dengan isyarat yang aku beri. Barulah ketika kopi
dengan latte art tersebut tersaji akan aku ungkapkan segalanya. Tentang
perasaan milikku yang mengendap selama bertahun-tahun dan tentang keinginanku
memiliki malaikatku seutuhnya. Selain itu sedari tadi aku terus mengecek isi
jasku. Disanalah tersimpan bunga Daffodil yang sempat kubeli di pinggir jalan
sebelum kesini. Aku selalu tahu bahwa bunga Daffodil adalah bunga favorit
Angel. Rencana ini sudah kupikirkan berhari-hari sebelum pertemuan ini terjadi.
Semuanya sudah kupersiapkan dengan perhitungan yang sempurna.
“Jadi
bagaimana soal pembangunan kedai yang di Jogja?” pertanyaan dari Darwin segera
mengaburkan pikiranku.
“Berees,
tinggal nego soal harga. Cincailaah… kalian jadi bantuin aku kan?” Angel
menatap kami berdua.
“Pasti.”
Jawab aku dan Darwin hampir bersamaan.
“Walaupun aku
sedikit ragu, bakalan bisa kerja sama dengan arsitektur gaya kaku macam dia.”
Darwin menatap kearahku dengan terkikik.
“Sialan,”
Selain untuk
melepas kangen, pertemuan kali ini juga atas permintaan langsung dari Angel.
Dimana Angel baru-baru ini keluar dari kantor biro konsultan miliknya abang.
Ternyata Angel ingin menjajal karirnya sebagai arsitek di setapak jalan yang
ingin ia bangun sendiri. Tidak mudah tentunya. Untuk itulah Angel memilih untuk
menjadi seorang freelancer dan menjaring konsumen dari lingkaran pertemanannya
sendiri. Sehingga ketika ada temannya yang akan membangun sebuah usaha kedai
kopi dengan sedikit memberanikan diri, Angel menawarkan jasanya sebagai
arsitek. Dengan asas saling membantu dan juga saling menguntungkan akhirnya
Angel mendapatkan kesempatan tersebut. Namun karena belum percaya diri untuk
mengerjakannya seorang diri maka Angel meminta bantuan dari aku dan Darwin.
Angel percaya bahwa kontribusi kami berdua sebagai arsitek akan sangat
membantunya dalam proyek ini. Entah itu saran, informasi ataupun sekedar juru
semangat. Aku akan selalu ada disampingnya.
“Pokoknya
kalau proyek ini sampai gol dan temen aku suka, aku makin yakin buat bikin biro
konsultan sendiri.” Ucap Angel dengan semangat. Aku dan Darwin hanya bisa
mengangguk saja.
“Oh ya,
katanya Vito mau ngomong sesuatu.” Angel kini melirik kearahku.
“Really? Kamu mau ngomong kalau kamu udah
MRI kepala kamu dan ternyata otak kamu bentuknya persegi panjang?”
Celaan dari
Darwin sama sekali tak kugubris, “Emm….” Aku berusaha memberikan isyarat kepada
barista untuk mengeluarkan kopi yang telah kupesan.
“Wait.. wait, sebelum kamu ngomong
sesuatu. Kita mau ngomong sesuatu lebih dulu sama kamu.” Cegah Darwin dengan
cepat.
Keningku
berkerut ketika Darwin menyebut “kita”. Pandanganku langsung menatap ke arah
Darwin dan juga Angel. Apa maksudnya dengan kita?
“Nanti saja,
biarin Vito selesain omongannya.” Angel menyela terlebih dahulu.
Darwin malah
menatap balik Angel dengan tatapan memelas, “I can’t wait any longer, Love.”
Love? Aku pasti salah dengar.
Angel menarik
nafas sebentar dan menganggukan kepala seakan sebagai pertanda untuk memberikan
persetujuan kepada Darwin. “Jadi begini, aku dan Angel, kita berdua sudah
jadian.”
Mendadak
seperti ada godam yang menghantam hati dan kepalaku. “Kapan?” dengan bergetar,
hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Sekitar dua
bulan yang lalu.” Malaikatku menimpali … atau bukan.
Kemudian
seperempat jiwaku yang masih tersadar, menjadi pengganti sisa dari jiwaku yang
hilang entah kemana untuk mendengar cerita berikutnya. Dengan sedikit
samar-samar, aku mendengar suara yang menceritakan bahwa tepat ketika hari
ulang tahunnya, Angel tidak pernah melupakan hari itu. Ada seorang pria yang
mengigil di tengah hujan salju berdiri di depan pintu apartemennya sembari
membawa bunga favoritnya yaitu bunga Daffodil. Pria tersebut rela melakukan
penerbangan dari Amsterdam menuju ke New York hanya untuk mengucapkan “Selamat
Ulang Tahun”. Angel yang menduga bahwa Darwin adalah pria yang tidak romantis, namun
hari itu mengubah segala pandangannya terhadap Darwin. Darwin adalah pria yang
rela berkorban demi mendapatkan tujuan hatinya. Semenjak itulah kisah mereka
berdua dimulai. Cerita kemudian berlanjut bahwa mereka berdua mengakui bahwa
mereka berdua ternyata telah menyimpan hati masing-masing di pertemuan pertama.
Namun lingkaran persahabatan adalah alasan mereka untuk menahan perasaan
tersebut. Namun Darwin mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi. Ia
mengambil semua resiko untuk mengungkapkan segalanya.
“Angel yang
nyuruh aku buat ngasih tahu hubungan ini sama kamu ketika kita bertiga sudah
kumpul bareng. Biar surprise katanya. And
i think it worked. Look at your face, dude. You like you’ve seen a ghost.”
lanjut Darwin menggenapkan nyeri di hati dan kepalaku.
“Sekarang,
giliran kamu.”
Aku
mengumpulkan kembali jiwaku yang tercerai berai. “Emm… sebenarnya, sebenarnya …
aku ada proyek gedung Rumah Sakit lagi.” Jawabku sekenanya berusaha menutupi
kenyataan yang sebenarnya.
“Sudah
kuduga, kayaknya otakmu memang benar-benar persegi panjang.” Cela Darwin.
“Good luck,
Vito. Aku yakin kamu pasti bisa kok.” Senyuman Angel nyatanya malah semakin
memporak-porandakan isi hatiku.
Tanpa perlu
diaba-aba, Angel mengambil cangkir isi kopinya dan memamerkannya di udara,
“Untuk pertemuan kita dan proyek arsitek bersama. Yuhuu.”
Darwin tidak
ingin kalah, ia juga melakukan hal yang sama. “Untuk proyek Rumah Sakit Vitto
dan otak persegi panjangnya,”
Angel dan
Darwin lantas menatap ke arahku. Sejenak, aku mengecek kesaku jasku. Hanya
untuk memastikan bunga Daffodil itu tidak pernah diketahui keberadaanya. Seperti
perasaanku yang kuharapan tidak pernah diketahui juga keberadaannya. Selain itu
aku juga memberikan isyarat menggelang kearah barista yang sedari tadi
menungguku. Isyarat tersebut sebagai tanda untuk tidak pernah menggeluarkan
kopi latte art yang telah kupesan. Membiarkan kopi itu dingin untuk menemani
hatiku yang membeku.
Dengan
perlahan dan juga sedikit gemetar, aku mengambil cangkir kopi yang ada di
depanku dan menjunjungnya sedikit ke udara, “Untuk kalian berdua.. semoga
bahagia.”
Mataku
sempat melihat kebingungan di wajah
Darwin dan Angel dengan kalimat yang barusan kuucapkan. Aku sendiri tidak tahu
kenapa kalimat itu bisa meluncur begitu saja. Hal tersebut ditutup ketika kami
bertiga menciumkan gelas kopi masing-masing. Setelah itu, perlahan-lahan aku
menghirup sisa kopiku yang masih tersedia. Seperti sakit hati yang juga harus
kucerna perlahan-lahan. Bersamaan dengan itu ada sedikit ampas pahit yang
tertinggal di lidahku setelah menghirup kopi itu. Barangkali itulah kopi,
itulah cinta. Manis dan pahit dalam waktu bersama.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com