Bintang
terang itu nyatanya diawali dengan sebuah pengalaman kecil ketika usianya masih
menginjak belia. Pada saat itu dengan ditemani orang tuanya, ia pertama kali
menonton konser musik di kota kelahirannya yaitu Padang. Dan penyaji acaranya
tidak lain adalah penyanyi kondang sekaligus legenda musik Indonesia yakni
Chrisye. Nyatanya kemahiran seorang Chrisye dalam menciptakan atmosfir yang
menyihir di atas panggung membuatnya terpana. Semenjak itulah impian kecil
lahir dalam dirinya, “Saya ingin menjadi musisi seperti Chrisye.”
Bertahun-tahun kemudian, di sebuah kafe kecil di Bandung, dibantu oleh kakak
kandungnya yaitu Riri Muktamar dan produser berpengalaman Ari ‘Aru’ Renaldi,
dimulailah perjalanan panjang dalam membabad semak belukar industri musik
Indonesia. Apalagi mereka mengawalinya dengan jalur yang tidak populer yaitu
jalur musik indie. Tentu diperlukan lebih dari keberuntungan untuk bisa menapaki
jalan terjal tersebut. Namun energi yang dirasakan ketika pertama kali melihat
sang idola membuatnya tidak mundur. Perjalanan panjang itu pun ditapaki
selangkah demi selangkah. Hingga kemudian bintang yang ia miliki sekarang
tentunya tidak bisa ditampik oleh siapapun. Membuat gilirannya untuk membagikan
energi positif kepada banyak orang. Tulus.
Tepat pada tanggal 19 September
2015, Hall Hotel Aston Imperium Purwokerto telah disesaki oleh puluhan manusia.
Padahal jarum jam baru menunjukan angka 19.08 WIB. Dimana pertunjukan baru akan dimulai pada jam delapan
malam nantinya. Namun hal tersebut tetap tidak mampu membendung antusiasme
tinggi dari kami semua, termasuk saya di dalamnya. Bagaimana tidak? Musisi
idola yang tengah naik daun menggelar acara musik di kota kami yang kecil.
Tentu sebuah kesempatan langka yang tidak bisa disia-siakan begitu saja.
Sehingga kota Purwokerto yang sebenarnya sedang dirundung gerimis pun tidak
terlalu saya pedulikan. Dengan mengendarai sepeda motor, saya berhasil menembus
derasnya gerimis untuk sampai tepat waktu. Karena membeli tiket VVIP maka saya
berhak menunggu di sebuah ruangan khusus yang terletak di lantai dua hotel
tersebut. Dimana sebelum itu, saya dan juga pemegang tiket VVIP lainnya berhak
untuk mengambil sebuah nomor undian. Dimana siapapun yang beruntung nantinya
akan memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan Tulus. Tentunya saya
memiliki harapan kecil untuk dapat memenangkan undian dan bertemu langsung
dengan idola. Sesuatu yang nyatanya tidak sempat mewujud menjadi kenyataan.
Sembari
menunggu, pandangan terus berulang kali melihat tiket yang dipegang. Lantas
muncul kenangan bagaimana perjuangan untuk bisa mendapatkan tiket tersebut.
Diawali dengan sebuah tweet pendek dari Tulus yang mengatakan bahwa dia akan
berkunjung ke Purwokerto. Tentunya kesempatan tersebut tidak ingin saya
sia-siakan. Dengan sedikit bernafsu, saya terus mencoba menggali informasi
tentang konser yang bakal diadakan oleh Tulus di Purwokerto. Hingga kemudian
saya mendapatkan informasi lengkap tentang konser tersebut. Tanpa berpikir
panjang, seluruh isi kepala segera mematok diri sendiri untuk membeli tiket VVIP dari konser
musik tersebut. Kesempatan untuk melihat idola dengan jarak dekat dan
mendapatkan pengalaman tak terlupakan adalah satu-satunya ekspektasi saya waktu
itu. Tapi bagi saya untuk bisa mendapatkan tiket VVIP bukanlah perkara gampang.
Terutama dalam masalah harga. Namun sekali lagi saya terus memotivasi diri
sendiri bahwa kesempatan seperti ini sulit untuk terulang dua kali. Akhirnya
dengan mengikat pinggang, gaji pun dapat disisihkan untuk bisa membeli tiket
tersebut. Masalah baru muncul ketika tiket hanya bisa didapatkan di booth
khusus yang tersedia hanya di berbagai tempat dan tidak bisa dibeli secara
online. Apalagi niat untuk membeli tiket secara on the spot juga harus diurungkan karena menurut panitia, penjualan
tiket sangat cepat dan kemungkinan akan habis sebelum konser berlangsung.
Namun
untungnya semesta berbaik hati, seorang teman bersedia mengantri untuk
membelikan tiket di booth khusus tersebut. Dimana dia hanya meminta uang
membeli tiket diganti dan ia ditraktir makan es krim di sebuah tempat makan
terkenal di Purwokerto. Tentu untuk niat tulusnya dan keringatnya dalam
mengantri panjang saya setuju dengan hal itu. Tapi nyatanya dia hanya meminta
uangnya diganti dan ucapan ‘terima kasih’ saja sudah cukup untuk membalas
semuanya. Sepertinya teman saya tahu betul betapa moment ini telah lama ditunggu.
Hutang banyak terima kasih terus saya tempel di kepala untuk teman saya yang
baik hati tersebut.
Seringkali
pikiran melintas di kepala bahwa tidak mungkin saya melakukan ini semua jika
tidak diiringi rasa kagum yang menggelembung di dada terhadap musisi berbadan
subur ini. Tulus memang adalah seorang musisi yang akhir-akhir ini benar-benar telah
meracuni saya dalam artian positif. Lagu-lagu dari dua albumnya yaitu TULUS dan
Gajah hampir setiap hari saya putar. Dan tiap kali mendengarkannya, saya selalu
berada dalam atmosfir yang menenangkan sekaligus menakjubkan. Nada musik yang
cerdas dipadukan dengan lirik lagu yang anomali sekaligus puitis benar-benar
kombinasi yang memabukkan.
Namun
fokus saya terhadap karya musik Tulus adalah lirik-lirik lagu yang ia tulis. Barangkali
banyak musisi di Indonesia yang mampu merangkai lirik-lirik yang puitis namun
Tulus lain. Liriknya bukan hanya puitis namun apa ya.. saya juga sulit
mendefinisikannya. Lirik yang ia tulis benar-benar sepertinya hanya satu orang
di dunia ini yang mampu melakukannya, lirik yang “Sangat Tulus”. Lirik dengan
diksi Bahasa Indonesia yang sangat santun dan juga jujur. Dimana
keistimewaannya bukan hanya liriknya yang puitis namun juga bagaimana sudut
pandang istimewa yang dimiliki oleh Tulus dalam menciptakan karyanya. Bagi
saya, sudut pandang adalah hal yang spesial sekaligus mahal bagi tiap kreator.
Dan seorang Tulus memiliki sudut pandang tersebut dengan cara yang menakjubkan.
Dimana akhir-akhir ini banyak sekali musisi yang mengaku sebagai anak band
terkenal yang mengetuk inspirasi dan membuat lagu-lagu dengan tema yang itu-itu
saja. Berkubang dalam lubang pintu inspirasi yang sama. Lain dengan Tulus, dia
tidak mengetuk pintu inspirasi namun dia mendobraknya! Membuatnya pantas
disebut sebagai musisi anomali.
Tulus
juga berperan besar sebagai pintu bagi saya untuk mengenal musisi-musisi hebat lainnya. Sebut saja seperti Bonita and
The hus Band, Sarasvati, Endah N Rhesa, White Shoes and The Couples Company,
Kunto Aji maupun Sore. Tapi kekaguman terbesar saya adalah bagaimana perjuangan Tulus untuk
memperjuangkan kata hatinya. Menjadi seorang musisi di Indonesia apalagi musisi
Indie bukanlah sebuah pilihan yang populer. Apalagi dengan latar belakang
keluarganya dan juga latar belakang pendidikannya di Universitas Katolik
Parahyangan jurusan arsitektur. Tidak semua orang memiliki keberanian tersebut.
Pertentangan dan juga pandangan sebelah mata tentunya adalah hal utama yang
bakal Tulus dapatkan di awal perjalanannya. Namun dengan kerja keras, proses
dan polesan impian nyatanya kemustahilan berbuah menjadi terang yang berubah
menjadi energi besar.
Acara yang dinamai; Melepas Senja –
A Special Night With Tulus tersebut dimulai tepat pukul delapan malam. Diawali
dengan insiden salah menduduki kursi akhirnya dengan dibantu seorang panitia
yang baik hati, saya mendapatkan nomor kursi yang tepat. Yaitu nomor kursi
delapan belas. Sebuah tempat yang cukup tepat untuk melihat idola dengan jarak
yang ideal dan juga mendengar sound yang sempurna. Lampu-lampu di ruangan
tersebut lantas dimatikan, menandakan bahwa pertunjukan tersebut telah dimulai.
Diawali dengan pertunjukan dari para seniman pembuka. Mulai Sakarepe Percussion
hingga seniman Indonesia yang telah melalang buana di dunia yaitu Didi Nini
Thowok. Khusus untuk Didi Nini Thowok, bagi saya dia adalah seorang seniman
sejati. Dia mampu membuat suasana menjadi hangat, inspiratif dan juga
menghibur. Terutama dengan berbagai celetukan jenaka yang ia lemparkan.
Hingga
kemudian penyaji utama dari acara ini tiba waktunya untuk muncul. Namun
sayangnya, kemunculan sang idola terpaksa diundur beberapa waktu. Hal tersebut
disebabkan karena sound system yang mengalami masalah. Dari kursi duduk, saya
bisa melihat panitia yang terlihat panik dan beberapa kali melakukan kordinasi.
Untungnya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, sound system berhasil
diperbaiki. Anggota dari band penggiring Tulus pun mulai bermunculan satu per
satu. Mulai dari Fuad Rudyan sang drummer, Sindhu Banyu Sekti si Bassis, si
jenius sekaligus pianis yaitu Yonathan Godzali, Ferry Nurhayat yang memegang
peran backing vocal dan satu lagi pria yang berperan sebagai gitaris yang
sayangnya saya lupa namanya. Dimulai dengan lampu yang mendadak mati dan
kemudian ada sebuah lampu sorot yang hanya berfokus pada satu orang yang muncul
dibalik tirai hitam. Sang idola pun lantas muncul sembari diiringi teriakan
penonton mengelu-elukan namanya. Tulus mengenakan baju kerah khasnya yang
berwarna hitam membuatnya menyatu dengan suasana panggung.
Tanpa
basa-basi, dentuman musik langsung menggetarkan tempat tersebut. “Jatuh Cinta”
menjadi penampilan pembuka dari Tulus. Lagu tersebut lantas membuat Tulus mampu
membawa penonton dalam atmosfir musiknya. Benar kata Risa Saraswati, Tulus
adalah ombak yang terlalu kuat untuk ditahan oleh siapapun. Kami hanya bisa
terbawa dalam arusnya yang menakjubkan. Saya membuktikan dengan dua mata saya
sendiri. Entah beberapa kali kuping saya berdengung karena penonton disamping
saya yang meneriakan nama Tulus dengan nada sangat tinggi. Mata penonton
disamping saya sangat berbinar melihat sang idola berada di depan mata.
Barangkali binar itu juga tengah saya miliki saat itu. Setelah lagu pertama
selesai ditampilkan, Tulus memilih untuk menyapa para penonton.
“Jujur, ini adalah kali pertama saya
menginjakan kaki di kota ini. Purwokerto adalah sebuah kota yang kecil namun
indah. Saya berniat untuk suatu saat nanti kembali lagi kesini.”Ujar Tulus.
Kemudian pengalaman Tulus di
Purwokerto, ia lanjutkan dengan menceritakannya tentang pengalaman pertama
kalinya mencicipi makanan khas kota ini. Mulai dari Tempe Mendoan hingga
Gethuk. Selain itu ia juga menjelaskan pengalamannya berjalan-jalan di kota
Purwokerto yang nyaman sekaligus hening tersebut. Membuat suasana di tempat itu
menjadi lebih cair lagi dengan beberapa gelak tawa yang sempat terdengar. Tidak
membutuhkan waktu lama, Tulus melanjutkan kembali pertunjukannya. “Jangan
Cintai Aku Apa Adanya”, “Sewindu”, “Bumerang”, “Gajah”, “Baru”, “Teman Hidup”,
“Kisah Sebentar” hingga lagu Juwita Malam dibawakan dengan merdu sekaligus
sempurna oleh pria yang lama tinggal di Bandung tersebut. Namun ada dua lagu
yang paling berkesan yaitu Sepatu dan Lagu Untuk Matahari. Diawali dengan lagu
Sepatu, dimana saat lagu tersebut didendangkan ada sebagian penonton yang berinisiatif
melepaskan sepatu mereka dan menunjukannya ke udara. Seakan-akan ingin mewakili
isi cerita dari lagu tersebut. Saya hanya bisa tersenyum geli saja. Sedangkan pada
Lagu Untuk Matahari, seluruh penonton berdiri dari tempat kursinya. Hal
tersebut permintaan langsung dari sang pemilik lagu.
“Ini adalah lagu untuk selalu
berpikir positif. Teman-teman, kitalah yang paling berhak atas hidup kita.
Bukan orang lain, bukan siapapun. Kita adalah matahari untuk hidup kita
sendiri. Ini adalah …. Lagu Untuk Matahari.” Jelas Tulus dengan berapi-api.
Api semangat tersebut nyatanya mampu
membakar gairah seluruh penonton di ruangan tersebut. Mereka semua ikut
bernyanyi lagu tersebut. Saya sendiri belum pernah merasakan atmosfir sehebat
ini sebelumnya. Hingga suasana tersebut berubah menjadi sihir yang menarikku
dalam atmosfir tersebut. Saya yang sadar diri dengan kualitas suara entah
kenapa juga ikut berteriak menyanyikan bait demi bait dari lirik lagu tersebut.
atmosfir itu terlalu kuat untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Namun kemudian
teori relativitas waktu benar-benar terbukti malam itu. Rentang waktu empat jam
lebih serasa sekedip mata. Tulus telah berada di ujung penampilannya. Seribu
Tahun pun menjadi lagu penutup dari malam yang luar biasa ini. Dia pamit dengan
berjanji bahwa akan kembali lagi suatu saat nanti sekaligus meminta doa untuk
kelancaran album ketiganya. Melepas Senja dengan Tuan Gajah pun berjalan
sempurna.
Sepanjang hidup saya yang pada saat
itu telah melewati angka usia 21, itu adalah konser musik pertama kali yang
saya tonton dan juga konser musik terbaik. Bukan hanya karena penampil utamanya
adalah musisi yang tengah saya gandrungi namun lebih dari itu. Selalu lebih
dari itu. Alasan utamanya tidak lain adalah karena energi besar sekaligus
positif yang ditularkan oleh Tulus kepada seluruh orang yang berada disana.
Selalu kesenangan yang tidak bisa dijelaskan ketika menonton musisi yang jujur
dan juga bisa menikmati penampilannya sendiri. Dan Tulus adalah bungkus
sempurna dari itu semua. Barangkali Chrisye tidak pernah menduga bahwa salah
satu penampilannya lantas menginspirasi sekaligus memberikan energi yang begitu
besar kepada seorang anak kecil yang menontonnya. Seorang anak kecil yang
kemudian di masa mendatang nyatanya mengikuti jejaknya untuk memberikan energi
positif kepada banyak orang. Saya termasuk diantaranya yang merasakan energi
besar itu secara langsung. Energi besar yang berasal dari bintang terang
bernama Tulus.
“Tepat
di saat hari buruk menyerang. Tenang saja, masih banyak hari baik yang menunggu
giliran.” Tulus.
wooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus
ReplyDeletewooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus
ReplyDeletewooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete