Hujan
selalu menyimpan cinta dalam tiap rintiknya. Selalu ada yang bernyanyi merdu di
balik awan hitam. Untuk itulah aku selalu suka bulan Oktober, November,
Desember atau Januari. Kala rintiknya dapat kita temui tiap hari. Saat suara
merdu itu dapat kita nikmati tiap waktu.
Bau tanah basah yang membelai hidung adalah wangi alam yang tak akan pernah
dibandingkan dengan merek parfum semahal apapun. Dan saat hujan usai meluruh
maka giliran pelangi yang menunjukan digdayanya. Memamerkan tujuh warnanya
untuk mencorak langit. Namun ada satu yang paling kusuka dari hujan. Hujan
menyimpan satu memori yaitu kamu. Waktu itu bulan Desember, hujan tengah
giat-giatnya menyapa bumi. Aku tidak akan pernah melupakan memori itu. Masih
segar bagai tanah yang baru kemarin disiram gerimis.
Kita
baru pulang sekolah waktu itu. Hujan deras seakan enggan untuk berhenti. Kamu
dengan baju putih abu-abu milikmu tengah berteduh di depan salah satu toko.
Sepertinya kamu sedang menunggu angkot yang tak kunjung datang. Aku berlarian
menuju ke arahmu karena terus dikejar hujan. Dengan tubuh menggigil dan baju
lepek aku ikut berteduh di depan toko yang sudah tutup. Mengetahui kehadiranku,
kamu membagi senyum terhangat kepadaku. Senyum yang merekah bagai mentari di
ujung hari. Satu energi yang dengan ajaibnya langsung membuat seluruh sistem
tubuhku menghangat dengan sendirinya. Mungkin senyuman itu hanyalah sekedar
standar basa-basi. Namun disanalah aku menemukan satu mentari yang ingin kucuri
dan kusimpan selamanya di hati.
Hujan
tak jua menunjukan keinginannya untuk reda. Dan, angkot yang ditunggu tak juga
menunjukan batang hidungnya. Sesekali bunyi guntur terus menyahut. Kita duduk
berdua di salah satu bangku panjang yang ada di depan toko itu. Dengan jarak
yang terus dijaga. Ini bukan pertama kali aku melihatmu. Aku sering melihatmu
dan tak ada impresi apa-apa. Namun kali ini lain, kamu terlihat begitu beda.
Aku juga tidak tahu mengapa, mungkin karena hujan. Hujan membawa mentari yang
selama ini tersembunyi darimu. Dan saat itu, tiap titik hujan yang jatuh juga
membawa hatiku. Aku jatuh berulang-ulang, berkali-kali dan mungkin inilah yang
disebut cinta pertama. Hatiku mekar bagai mawar di penghujung musim. Semerbak
wanginya membuatku kepayang. Inilah candu yang banyak membuat manusia tergila-gila.
Selain
suara hujan yang mencium tanah maka tak ada lagi bunyi dari kita. Kita terus
memilih untuk diam. Seperti ada keenganan untuk memulai percakapan. Padahal ada
puluhan kalimat yang menggumpal di dadaku. Aku ingin menyapamu, aku ingin
mengajakmu berkenalan, aku ingin kau tahu namaku dan aku ingin tahu namamu.
Namun segalanya masih mengendap di pikiran. Aku baru sadar betapa pengecutnya
aku waktu itu. Aku makin merutuki sifatku yang pendiam.
Ingin
sekali kubekukan waktu. Biarkan ia berhenti di sini. Cukup dengan aku, dia dan
hujan. Maka segalanya akan sempurna. Sebuah cinta pertama yang malu-malu namun
manis begitu dirasa. Tuhan pasti saat ini tengah menahan tawa, melihat dua
manusia yang kikuk dengan keenganan untuk mulai bicara. Atau malah jangan-jangan
ini memang yang Tuhan mau. Tuhan sengaja turunkan hujan, Tuhan sengaja
menyembunyikan angkot, Tuhan sengaja menutup toko ini dan Tuhan sengaja
menyiapan bangku ini untuk kami berdua. Jika iya, maka aku harus memberikan
ribuan terima kasih dan doa penuh syukur. Apa jadinya jika tidak hujan? Apa
jadinya jika angkot itu ada? Apa jadinya jika toko ini masih buka? Apa jadinya
jika tidak ada bangku untuk berdua? Mungkin aku tidak akan pernah melihat satu
mentari merekah yang ingin kucuri dan kusimpan selamanya di hati. Mungkin aku
tidak pernah jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Aku
tidak ingin melihat momen ini berlalu begitu saja. Aku ingin meninggalkan jejak
untukmu. Aku ingin mendengar suara darimu dan aku juga ingin memulai obrolan.
Apa saja, asal aku bisa mendengar suara darimu.
“Kamu
tahu tidak kalau hujan itu tidak pernah kemana-mana. Ia turun hanya untuk naik
lagi ke langit?” Ah, terlalu bersayap.
“Kamu
tahu tidak menurut penelitian bau tanah sehabis hujan itu menyehatkan?” Ah,
terlalu teoritis.
“Aku
selalu ingin jadi hujan. Datang, menguap dan pergi tanpa meninggalkan beban.
Kalau kamu ingin jadi apa?” Tidak etis, bahkan kita belum saling kenal.
“Kamu
tahu tidak kalau pada jaman dahulu,
petir itu dianggap sebagai penanda kalau para dewa sedang ngamuk?”
Pertanyaan macam apa ini?
Akhirnya
tidak ada yang keluar dari mulutku. Sesuatu yang terus kurutuki. Betapa
kepengecutan harus hadir di saat yang tidak tepat. Dan, Tuhan sepertinya memang
ingin memperlihatkan bahwa kesempatan jika disia-siakan maka ia akan segera
berpaling. Itu dibuktikan lewat sebuah angkot yang datang menghampiri kami.
Sebuah angkot berwarna biru dengan nomor jurusan bukan ke arah rumahku tapi
mungkin ke arah rumahnya. Dan itu memang benar ketika ia bangkit berdiri dan
bersiap untuk menghentikan angkot itu. Kesempatan itu sebentar lagi berlari
meninggalkanku. Padahal aku ingin ada jejak yang tertinggal dari pertemuan ini.
Ketika ia bersiap masuk ke angkot, gelembung yang sedari tadi yang mengumpal di
dadaku akhirnya terpecah dalam satu hentakan yang tak kuduga.
“Nama
kamu siapa?” seruku sambil berebut dengan suara hujan.
Ia
berpaling ke arahku dan kembali memperlihatkan senyum yang merekah hangat bak
mentari di ujung hari itu.
“Nayla.”
Lantas
ia masuk ke angkot yang langsung berjalan pergi meninggalkan aku yang belum
sempat mengucapkan namaku. Hujan makin deras bersamaan dengan hatiku yang
bergemuruh tidak karuan. Ketika mendengar namanya, hatiku baru saja meledak
menjadi puluhan kuntum mawar.
Maka
ketika hujan kembali menyapaku, ia bukan hanya membawa rintik air namun juga
membawa rintik memori tentang dia. Jika orang lain selalu kesusahan
mendefiniskan tentang cinta pertama maka aku lain. Cinta pertama bagiku adalah
saat hujan, aku yang sendirian dalam kamar akan mendekat ke arah jendela dan
dengan uap hujan aku akan menuliskan namaku dan namanya ditengah sebuah
lingkaran berbentuk hati. Sembari tersenyum sendiri. Ada rasa malu-malu namun
ada juga rasa ingin tahu. Entah mengapa, hujan selalu membuat rindu makin
gencar dirasa. Tiap kali hujan, lamunanku menyebrang bersama air yang dibawa
langit itu. Sedang apa ia sekarang? Apakah ia juga merasakan apa yang
kurasakan? Apakah ia juga melakukan apa yang kulakukan? Pikiran-pikiran itu
sering kali datang menggangu namun di lain sisi juga membuat suatu keindahan
tak terperi.
Cinta
pertama itu tak pernah terungkap. Aku menyimpannya rapi bagai kotak harta karun
yang ingin selamanya kupendam di hati. Biarkan ia berbicara melalui udara,
berbisik melalu gemricik aliran hujan dan mewangi dalam bau tanah sehabis
gerimis. Tak mengapa, aku memilikinya dengan cara lain. Lewat namanya dan
namaku yang kutulis di kaca jendela dengan embun atau uap hujan. Lewat
rindu-rindu yang dibawa air dan menguap ke langit. Untuk itulah aku selalu suka
hujan karena rasanya rinduku kepadanya ikut tersampaikan lewat rintiknya. Untuk
itulah aku selalu suka musim penghujan terutama bulan Desember karena selalu
membawaku kembali pada satu memori. Sebuah cinta pertama yang dibawa oleh
hujan.
Selalu ada yang bernyanyi
dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang
menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi
yang setia menunggu hujan reda
Aku selalu suka sehabis
hujan di bulan desember
Di bulan desember......
Karena aku selalu suka
sehabis hujan di bulan desember
Di bulan desember...
.....................
Seperti pelangi yang
setia menunggu hujan reda.
Efek
Rumah Kaca – “Desember”
No comments:
Post a Comment