Hati terkadang serupa
cuaca. Dia dapat menyerupai hujan ketika dilanda suka, mampu menyerupai kemarau
kala rindu gencar menyiksa. Hari ini, hatiku tengah dilanda keduanya sekaligus.
Kebasahan dalam rintik kebahagiaan dan merana dalam kemarau rindu yang mendera.
Masih terasa rasa yang menari lincah di kepala karena jiwa yang bersua meski
hanya lewat suara. Lewat telepon kemarin malam yang sengaja kau tunggu. Dengan
gelak tawa, suara manja, humor tak lucu, kalimat puitis dan segala milikmu yang
selalu ku puja. Masih terasa sisa kemarin malam yang terus melekat di kepala.
Tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Dari humor tawa sampai derai air mata.
Segalanya tersimpan hangat di hati dan memori.
Aku terbangun. Membuka mata dengan keadaan
gelisah. Entah kenapa aku tidak merasa sendiri. Ada kamu disini. Kamu datang
lewat suara, membisikan namamu lewat angin, menitipkan auramu lewat awan,
membungkus kehadiranmu pada semesta. Apakah disana, semesta juga melakukan hal yang
sama untukmu? Sudah sering kita membahas tentang ini, tentang kerinduan ini.
Tentang jarak yang memisahkan kita begitu jauh. Tentang rasa kangen yang tak
kuasa lagi dibungkus. Lewat sebuah percakapan telepon kau pernah memberi tahuku
obat termanjur untuk rasa kangen yang tak sanggup lagi dibendung.”Jika kita
kangen, maka pandanglah langit dengan begitu kita akan memandang langit yang
sama. Langit tidak pernah berjarak dengan kita. Dari dulu, langit telah
dijadikan sarana yang diberikan alam untuk membagi rasa. Karena alam selalu
berbahasa. Dia dapat menyatukan segalanya.” Lalu bagaimana jika langit merasa
kangen? Harus kemanakah dia menatap? Kemudian kita tertawa bersama, “ Kalau
begitu langit tidak perlu menatap kemana-mana, dia tinggal melihat kita.”
Sedari tadi, aku terus bingung antara diam
atau menelponmu. Menceritakan bahwa semalam, aku memimpikanmu. Kita bertemu
dalam mimpi. Disana, kita bermain tarik tambang, membangun rumah dari pasir,
mencari kumbang, mencuri es krim, berlarian di taman. Hanya di alam abstrak
itulah kita bisa bertemu. Bebas bercerita tanpa terikat ruang dan waktu. Tidak
ada lagi jarak yang membentang. Haruskah aku memberitahumu? Padahal baru
kemarin kita membuat sebuah perjanjian. Perjanjian bahwa siapapun yang pertama
kali menelpon akan kalah dan mendapatkan hukuman. Membuat puisi itulah
hukumannya. Aku tahu, sebenarnya hukuman itu lebih ditunjukan untukku. Aku
bukanlah sepertimu, terkadang metafora hanyalah kalimat pembungkus palsu dari
kenyataan, diksi hanyalah filterisasi dari kata-kata mutiara, aku tidak terlalu
suka dan kau tahu itu. Tapi kali ini ketika rindu begitu gencar menyiksa, kala
hati mencari sarana dari harapan yang tak bertuan maka menjelmalah aku menjadi
pujangga dadakan. Aku akan menyelam ke laut mencari kata-kata indah bak mutiara
dari permaisuri, aku akan mendaki menuju puncak bukit untuk membawa pulang
cakrawala aksara, aku akan menarik senja untuk mencuri sekelumit semesta
kata-kata. Akan kubungkus semua itu dalam bait-bait puisi yang nantinya dapat juga
kau rindu. Demi kamu, aku tidak pernah peduli menang atau kalah, benar atau
salah, hukuman atau pujian. Karena aku mencintaimu seperti denyut yang memompa
jantung, seperti udara yang memijat langit. Melekat tanpa bisa terpisah. Jadi
izikanlah aku untuk mengabarimu tentang rindu-rindu, tentang mimpiku semalam,
tentang kita. Ternyata langit saja tak cukup untuk menjadi sarana dari rindu.
Langit hanya mampu menjadi sarana bukan menjadi pelipur lara.
Aku terdiam. Memegang gagang telepon
dengan hening. Suara tunggu terdengar nyaring di telinga. Aku telah siap
menjadi pujangga dadakan, aku telah siap ditertawai olehmu habis-habisan, aku
telah siap kalah dengan gemilang. Tapi aku tidak pernah siap menanggung rindu
ini sendirian. Hukum aku, akan kubuatkan sejuta puisi untukmu. Tapi jangan
hukum aku dengan belenggu kesunyian.
Hening itu mendadak terpecah. Ada suara di
ujung telepon. Suara yang telah menjelma menjadi rintik gerimis di lahan
kemarau hati, di gersang ranah jiwa. Sebelum kau menertawaiku, sebelum kau
menghukumku, sebelum kau memintaku jadi pujangga dadakan. Izinkan aku bersuara,
izinkan aku meluapkan rasa yang menyesak di dada.
“ Aku kangen..”
No comments:
Post a Comment