Sunday, August 26, 2018

Review Labirin: Ketika Stalking Belum Pernah Sepuitis Ini



Review Labirin: Ketika Stalking Belum Pernah Sepuitis Ini

Apa yang paling candu dari jatuh cinta? 

Rasa Penasaran. Ia menjelma serupa ribuan semut yang memenuhi sekaligus menggelitik dada dan isi kepalamu. Membuatmu sulit tidur sebelum tahu rasi bintang yang menaunginya setiap malam. Membuatmu sulit makan sebelum tahu makanan favorit yang membuat matanya berbinar. Membuatmu sulit berpikir sebelum tahu pernahkah sejengkal saja dia memikirkanmu. Hanya untuk memastikan ada satu benang tipis yang bisa menghubungkan kalian berdua dalam semesta yang rumit ini. Untuk memastikan bahwa ada satu titik temu dari ribuan titik perbedaan karena keniscayaan kalian sebagai manusia. 

Namun rasa candu akan apapun pasti tetap memiliki sisi gelap lain yang seringkali mengendap diam-diam. Rasa penasaranmu akan seseorang karena dilandaskan cinta seringkali membuatmu terjebak dalam labirin yang membingungkan. Membuatmu sulit lagi membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Mana harapan dan mana buaian. Mana titik kamu harus berlari tanpa batas dan mana titik kamu harus berhenti karena kehabisan napas. Sebuah paradoks bahagia dan sengsara yang harus ditelan setiap hari bagai obat oleh para stalker. Untungnya, Tulus dengan fasih menjabarkannya dalam lagu terbarunya yaitu “Labirin”. Membuat lagu ini tak ubahnya keluh kesah para pemuja rahasia dengan cara yang elegan. 

Pertama, mari kita sambut lagu ini dengan bahagia dan tepuk tangan karena karya terbaru Tulus baru saja menunjukan rupa. Sudah? Mari kita bahas sedikit tentang lagu ini. Ada satu hal yang sepertinya selalu menjadi lampu sorot saya ketika lagu Tulus keluar. Apalagi kalau bukan bagian liriknya. Banyak orang yang beranggapan bahwa lirik yang ditulis oleh Tulus itu puitis dan indah. Saya tidak sepenuhnya setuju, saya lebih suka memakai padanan kata “menggelitik”. Ya bagi saya, Tulus memiliki kemahiran merangkai lirik yang sangat menggelitik otak maupun hati. Ia mampu merancang lirik yang sebenarnya kita tahu maknanya tapi jarang menggunakannya. Lagu seperti “Sepatu” dan “Gajah” adalah contoh terbaiknya. Dan begitu rangkaian lirik tersebut dijodohkan dengan nada yang tepat maka sihirlah yang tercipta. Sihir yang menempel di kepalamu dan membuatmu tidak bisa melakukan apapun selain mengucapkan sihir tersebut secara berulang-ulang sambil menggerakan badanmu. 

Pada “Labirin” sihir tersebut, bagi saya terdapat pada rangkaian lirik ini:

Kucari tahu tentangmu, tanggal dan tahun lahirmu

Kupelajari rasi bintang, menebak pribadimu 

Tokoh kartun favoritmu dan warna kegemaranmu

Kutelusuri di titik mana kita kan bertemu

Bagi saya, hanya Tulus yang mampu memikirkan sekaligus merangkai lirik yang menggelitik seperti itu. Menggelitik karena terasa dekat, tidak perlu dibuat-buat tanpa meninggalkan ciri khasnya untuk menyisakan keindahan di dalamnya. Sayangnya, sihir lirik tersebut hanya terdapat pada rangkaian lirik yang sudah saya sebutkan barusan. Soalnya sisa lirik dari sepanjang lagu, tidak terasa istimewa di telinga saya. Indah tapi dengan mudah saya temukan di lagu mana saja.


Lain dengan lagu “Sepatu” yang bagi saya dari awal hingga akhir lirik, saya sangat yakin hanya bisa menemukan rangkaian lirik jenius tersebut pada lagu itu. Sayang sekali sebenarnya, padahal pada lagu yang merupakan pintu pembuka untuk album keempatnya saya berharap banyak pada Tulus. Terutama kematangannya dalam menulis lirik lagu yang semakin terasah sekaligus semakin berani dalam mengeksplorasi sisi kepekaannya sebagai manusia. Tulus sangat peka, saya sangat yakin itu. Untuk itulah, pada album keempatnya saya berharap ada rangkaian lirik yang membuat saya memejamkan mata dan menggelengkan kepala. Sebuah sensasi yang pernah saya rasakan ketika mendengarkan album “Gajah”. 

Saya tidak menyebut “Labirin” tidak memuaskan, tentu sangat memuaskan. Rangkaian liriknya tetap khas Tulus, dengan meninggalkan kata “Adiwarna” yang memutar di kepala dan terpaksa membuat saya membuka kamus untuk mencari tahu artinya. Untuk segi lirik pada lagu ini maka mari kita berikan senyuman paling indah untuk menggambarkannya. Sedangkan untuk segi musiknya, mari kita berikan tepuk tangan paling meriah yang bisa kita ciptakan. Sesungguhnya bagi saya pribadi, yang paling menonjol dari lagu ini adalah musiknya. Mungkin liriknya sering mengucapkan, “candu .. candu ..” tapi sesungguhnya candu dari lagu ini adalah musiknya. Kabarnya, hal itu tak lepas campur tangan Ari Renaldi dan Petra Sihombing.

Saya sangat berharap bahwa lagu Labirin hanyalah pemanasan awal Tulus sebelum menunjukan kapasitasnya sebagai penulis lagu yang brilian. Di lagu-lagu berikutnya, saya berharap kematangan sekaligus kegilaannya sebagai seorang penulis lagu mampu dieksplor tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Semoga ada satu lagu yang mampu menyaingi atau setidaknya menyamai lirik "Sepatu" yang masih menjadi lagu dengan penulisan lirik terbaik bagi saya sampai sekarang. Terakhir, “Labirin” tetap saya sukai karena ini adalah lagu yang sangat Tulus sekali. Mengumbar keindahan tanpa harus terlihat berlebihan. Paling terpenting, “Labirin” membuat kegiatan stalking tak pernah menjadi sepuitis dan seindah ini.