Sunday, December 20, 2015

Review Gelombang: Meledak Bersama Alfa Sagala

                            “Sebagian besar mimpi adalah proses integrasi data di otak,  
                                    proses kalibrasi informasi tubuh dan mental...
                                            Kamu dan aku pun mengalami itu.....
 Selama kita terikat dalam tubuh ini, kita mengalaminya sebagai konsekuensi fisiologis.   
                          Tapi, yang harus dihadapi Alfa bukan mimpi  dalam pemahaman itu.
                         Mimpi adalah jalurnya untuk memasuki tempat yang disebutnya Asko. 
                                                    Asko sendiri bukan mimpi...”


    Apa jadinya jika takdir dan sejarah hidupmu berubah dalam semalam? Setidaknya itulah yang dialami oleh Thomas Alfa Edison. Dalam semalam, seorang bocah bernama Ichon “dipaksa” semesta untuk segera menjelma menjadi Alfa Sagala. Ada sebuah rencana besar yang tengah menantinya.Banyak musuh yang tengah mengintainya, ada teman yang sedang menunggunya dan sebuah kegelapan yang terus mengikutinya. Dan semua rangkaian api peristiwa yang membakar hidupnya tersebut tersulut dalam semalam. Sebuah upacara gondang mengubah segalanya.Upacara tersebut diselenggarakan oleh para sesepuh di kampung Alfa yaitu Sianjur Mula-Mula. Konon, dari kampung Sianjur Mula-Mula inilah suku Batak berasal. Upacara gondang itu diselenggarakan untuk memanggil para roh khususnya memanggil roh Raja Uti yang tidak lain adalah roh Raja Batak paling sakti. Itulah seremah cerita dari Gelombang.
    Saya setuju dengan penyair Taufik Ismail bahwa Supernova menyajikan sesuatu yang baru dari karya sastra modern lainnya, sebuah tebing pertanyaan adalah ujung sensasi setelah membaca buku ini. Hanya ada dua pilihan bagi pembaca Supernova, berdiri di ujung tebing tersebut sambil terus bertanya-tanya atau langsung terjun ke dalam jurang dan melebur bersama pertanyaan tentang eksistensi hidup. Begitu banyak pengetahuan yang menyesakki Supernova mulai dari Sains, Sastra,Fisika Kuantum, bahkan sampai hubungan paling intim antara insan danTuhan. Itulah yang membuat Serial Supernova begitu menggoda untuk dibaca. Setelah Supernova KPBJ, Akar, Petir dan Partikel. Kini, perjalanan serial Supernova kembali berlanjut ke episode lima yaitu Gelombang.


Keping kedua yang berjudul “Gelombang” adalah inti cerita dari buku ini. Bab ini dibuka dengan kalimat yang begitu frontal dan menghentak pembaca:

                “Sehari setelah aku berulang tahun, mereka menghadiahiku kegelapan.

Lain,dengan serial Supernova sebelumnya, dimana pembaca dibiarkan“bersahabat” untuk mengenal tokoh utamanya dalam beberapa halaman awal dengan alur yang tenang. Dalam Gelombang, di satu paragraf pertama saja, Dee sudah ingin “mengikat” pembaca dengan konflik dan Dee seakan tidak ingin membiarkan pembacanya untuk menghela nafas.
     
 Alfa yang telah berumur dua belas tahun mengikuti upacara gondang dengan gentar dan rasa takut karena itu adalah kali pertama ia mencicipi sebuah upacara yang mencekam. Suasana seluruh kampung hening dengan semua lampu dimatikan dan hanya terdengar bunyi musik tradional yang magis seakan tiap debarnya adalah mantra untuk memanggil sesuatu yang berasal dari dimensi lain. Dan, tidak ada yang lebih menakutkan bagi Alfa pada malam itu selain kenyataan bahwa ia dapat melihat sesosok makhluk menyeramkan dengan wajah gelap pucat berdiri angkuh menatap tajam ke arahnya. Ia didatangi oleh “sesuatu”dari dunia lain, Si Jaga Portibi! (The Guardians of Universe)

                                                                                  
             “Pada saat bunyi gondang dinaikkan, banyak pintu alam ini yang terbuka. 
      Banyak mata yang tadinya tak melihat, jadi melihat....Kurasa, saatmu sudah datang...
                                                  Hati-hati Gelombang!”


     Dan,semenjak malam itu, segalanya berubah bagi Alfa. Ia mulai dihantui mimpi buruk dan diikuti Si Jaga Portibi. Semua orang kampung menduga bahwa Alfa menyimpan sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang bahkan ia belum sadari apa itu. Hingga mimpi buruk yang mengancam nyawanya terus datang dalam tidur Alfa. Kejadian demi kejadian membuat Alfa tahu kalau kehadiran Si Jaga Portibi adalah untuk melindunginya. Si Jaga Portibi hanya akan muncul jika ia sedang dalam kondisi terancam.Dua batu yang dimiliki Alfa menjadi penunjuk selanjutnya dari semua teka-teki ini.
     Cerita demi cerita terus mengalir dalam riang, gelap, satir bahkan terkadang getir. Sebuah perjalanan Alfa dalam mencari jati diri. Namun semua plot melangkah dalam satu arus yang sama yaitu Alfa harus menghadapi alam mimpinya. Disanalah semua jawaban tersedia atas segala pertanyaan tentang eksistensi dirinya sendiri. Dan di Somniverse (semacam rumah sakit bagi pengidap gangguan tidur.) perlahan misteri tentang mimpinya mulai terkuak.
    Penelitian demi penelitan membawa Alfa kepada fakta bahwa mimpi yang ia alami bukanlah mimpi milik orang biasa, mimpinya adalah sebuah informasi yang masih terkunci. Dalam mimpi itu ia masuk ke suatu tempat yang disebut Asko. Asko sendiri bukanlah nama yang asing dalam serial ini karena beberapa kali disebut dalam buku-buku sebelumnya. Karena Alfa belum memiliki sthirata (kekukuhan) yang cukup maka ia belum mampu untuk tinggal terlalu lama di dimensi yang bernama Asko tersebut.
    Pencarian Alfa tentang jawaban atas pertanyaan tentang mimpinya membawa Alfa jauh ke Tibet. Ia bertemu dengan orang yang selama ini dianggap telah lenyap, dr. Kalden. Ia memberitahu sebuah informasi yang menghentakkan logika Alfa. Tentang Peretas, Infiltran dan Sarvara. Dan juga bahwa sebenarnya semua ini adalah Alfa yang merancang dan mengatur. Mimpinya, Si Jaga Portibi, buku tentang mimpi, kepergiannya ke Tibet, pertemuannya dengan dr.Kalden, petunjuk demi petunjuk. Adalah skenario yang sudah Alfa rancang sendiri. Ternyata semua itu Alfa yang merancangnya sebelum ia terlahirkan di tubuh sekarang alias sebelum ia bereinkarnasi. Dulu ia adalah Gelombang sebelum terlahirkan menjadi Alfa Sagala.
    Kemudian,dr.Kalden memberi Alfa sthirata (kekukuhan) untuk bisa bertahan lebih lama di dimensi lain yang disebut Asko. Disanalah segala rahasia tentang dirinya terungkap sekaligus rencana besar apa yang dibebankan kepada Peretas. Dan ternyata yang membangun Asko adalah Alfa sendiri.
Sampai disini, mozaik demi mozaik dari serial Supernova yang dulu terlihat berserakan mulai menemukan keutuhan. Benang yang dulu kusut kini mulai merangkai cerita menuju klimaks. Serial Supernova adalah tentang sebuah rencana besar yang akan menjadi ladang pertempuran dari semua tokoh. Supernova adalah perang! Gio sedang menuju ke Jakarta untuk menemui Dimas dan Reuben, Bodhi dan Elektra sudah bertemu di Bandung, Zarah sedang pulang ke Bogor untuk menemui keluarganya sedangkan Alfa tengah terbang ke Jakarta untuk bisa menemui Bodhi. Bisa dibilang, Indonesia akan menjadi ranah pertempuran sebenarnya dari Peretas, Infiltran dan juga Sarvara.
    Dan,sepertinya kisah dan berbagai benturan informasi sekaligus rahasia dalam Gelombang membuat saya ikut meledak bersama tokoh utamanya, Alfa Sagala. Saya ikut merasakan ketakutan Alfa berada dalam mimpi, kegigihannya mengejar ambisi, menyakiti seseorang yang mencintai, tenggelam dalam pencarian tak bertepi. Sungguh Dee kembali menunjukan keunggulannya sebagai penulis yang mahir sekali menulis kisah yang begitu “mengenyangkan” pengalaman sekaligus pengetahuan.
   Dee dengan piawai menjabarkan sebuah dimensi gelap yang sering kita alami tapi jarang kita pahami yaitu dimensi mimpi. Ya...manusia waras mana yang tidak pernah bermimpi? Hampir seperempat hidup ini kita habiskan dalam dunia gelap yang disebut tidur dan dalam tidurlah,mimpi memiliki rahim untuk berkembang biak. Namun Dee mengangkat mimpi dari sisi lain. Bahwa mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur tapi sebuah pengalaman intelektual bahkan relijius. Bahkan setahu saya bagi orang Timur terutama bagi umat Muslim, mimpi yang berulangkali terjadi adalah sebuah “bisikan” dari Tuhan. Tuhan memberikan isyarat yang ia inginkan melalui alam bawah sadar tersebut. Tinggal kebersihan diri manusia tersebut yang bisa mengartikan apa makna darimimpi tersebut.
    Mungkin pembaca belum benar-benar meledak dalam episode kali ini. Dee tengah membiarkan pembacanya tenggelam dalam banyak tanda tanya. Karena memang masih begitu banyak rahasia yang belum terungkap. Infiltran,Peretas, Sarvara, Gugus Okhtaderal, Bintang Jatuh, surat Supernova, Akar, Petir, Partikel, Gelombang, Asko. Semuanya akan terungkap di ending serial ini. Di episode klimaks itulah pembaca benar-benar akan meledak. Episode terakhir yang akan mengakhiri segala tanda tanya. Supernova: Intelejensi Embun Pagi.

Thursday, December 3, 2015

Hujan dan Cinta Pertama



Hujan selalu menyimpan cinta dalam tiap rintiknya. Selalu ada yang bernyanyi merdu di balik awan hitam. Untuk itulah aku selalu suka bulan Oktober, November, Desember atau Januari. Kala rintiknya dapat kita temui tiap hari. Saat suara merdu itu  dapat kita nikmati tiap waktu. Bau tanah basah yang membelai hidung adalah wangi alam yang tak akan pernah dibandingkan dengan merek parfum semahal apapun. Dan saat hujan usai meluruh maka giliran pelangi yang menunjukan digdayanya. Memamerkan tujuh warnanya untuk mencorak langit. Namun ada satu yang paling kusuka dari hujan. Hujan menyimpan satu memori yaitu kamu. Waktu itu bulan Desember, hujan tengah giat-giatnya menyapa bumi. Aku tidak akan pernah melupakan memori itu. Masih segar bagai tanah yang baru kemarin disiram gerimis.

Kita baru pulang sekolah waktu itu. Hujan deras seakan enggan untuk berhenti. Kamu dengan baju putih abu-abu milikmu tengah berteduh di depan salah satu toko. Sepertinya kamu sedang menunggu angkot yang tak kunjung datang. Aku berlarian menuju ke arahmu karena terus dikejar hujan. Dengan tubuh menggigil dan baju lepek aku ikut berteduh di depan toko yang sudah tutup. Mengetahui kehadiranku, kamu membagi senyum terhangat kepadaku. Senyum yang merekah bagai mentari di ujung hari. Satu energi yang dengan ajaibnya langsung membuat seluruh sistem tubuhku menghangat dengan sendirinya. Mungkin senyuman itu hanyalah sekedar standar basa-basi. Namun disanalah aku menemukan satu mentari yang ingin kucuri dan kusimpan selamanya di hati.

Hujan tak jua menunjukan keinginannya untuk reda. Dan, angkot yang ditunggu tak juga menunjukan batang hidungnya. Sesekali bunyi guntur terus menyahut. Kita duduk berdua di salah satu bangku panjang yang ada di depan toko itu. Dengan jarak yang terus dijaga. Ini bukan pertama kali aku melihatmu. Aku sering melihatmu dan tak ada impresi apa-apa. Namun kali ini lain, kamu terlihat begitu beda. Aku juga tidak tahu mengapa, mungkin karena hujan. Hujan membawa mentari yang selama ini tersembunyi darimu. Dan saat itu, tiap titik hujan yang jatuh juga membawa hatiku. Aku jatuh berulang-ulang, berkali-kali dan mungkin inilah yang disebut cinta pertama. Hatiku mekar bagai mawar di penghujung musim. Semerbak wanginya membuatku kepayang. Inilah candu yang banyak membuat manusia tergila-gila.

Selain suara hujan yang mencium tanah maka tak ada lagi bunyi dari kita. Kita terus memilih untuk diam. Seperti ada keenganan untuk memulai percakapan. Padahal ada puluhan kalimat yang menggumpal di dadaku. Aku ingin menyapamu, aku ingin mengajakmu berkenalan, aku ingin kau tahu namaku dan aku ingin tahu namamu. Namun segalanya masih mengendap di pikiran. Aku baru sadar betapa pengecutnya aku waktu itu. Aku makin merutuki sifatku yang pendiam.

Ingin sekali kubekukan waktu. Biarkan ia berhenti di sini. Cukup dengan aku, dia dan hujan. Maka segalanya akan sempurna. Sebuah cinta pertama yang malu-malu namun manis begitu dirasa. Tuhan pasti saat ini tengah menahan tawa, melihat dua manusia yang kikuk dengan keenganan untuk mulai bicara. Atau malah jangan-jangan ini memang yang Tuhan mau. Tuhan sengaja turunkan hujan, Tuhan sengaja menyembunyikan angkot, Tuhan sengaja menutup toko ini dan Tuhan sengaja menyiapan bangku ini untuk kami berdua. Jika iya, maka aku harus memberikan ribuan terima kasih dan doa penuh syukur. Apa jadinya jika tidak hujan? Apa jadinya jika angkot itu ada? Apa jadinya jika toko ini masih buka? Apa jadinya jika tidak ada bangku untuk berdua? Mungkin aku tidak akan pernah melihat satu mentari merekah yang ingin kucuri dan kusimpan selamanya di hati. Mungkin aku tidak pernah jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Aku tidak ingin melihat momen ini berlalu begitu saja. Aku ingin meninggalkan jejak untukmu. Aku ingin mendengar suara darimu dan aku juga ingin memulai obrolan. Apa saja, asal aku bisa mendengar suara darimu.

“Kamu tahu tidak kalau hujan itu tidak pernah kemana-mana. Ia turun hanya untuk naik lagi ke langit?” Ah, terlalu bersayap.

“Kamu tahu tidak menurut penelitian bau tanah sehabis hujan itu menyehatkan?” Ah, terlalu teoritis.

“Aku selalu ingin jadi hujan. Datang, menguap dan pergi tanpa meninggalkan beban. Kalau kamu ingin jadi apa?” Tidak etis, bahkan kita belum saling kenal.      

“Kamu tahu tidak kalau pada jaman dahulu,  petir itu dianggap sebagai penanda kalau para dewa sedang ngamuk?” Pertanyaan macam apa ini?

Akhirnya tidak ada yang keluar dari mulutku. Sesuatu yang terus kurutuki. Betapa kepengecutan harus hadir di saat yang tidak tepat. Dan, Tuhan sepertinya memang ingin memperlihatkan bahwa kesempatan jika disia-siakan maka ia akan segera berpaling. Itu dibuktikan lewat sebuah angkot yang datang menghampiri kami. Sebuah angkot berwarna biru dengan nomor jurusan bukan ke arah rumahku tapi mungkin ke arah rumahnya. Dan itu memang benar ketika ia bangkit berdiri dan bersiap untuk menghentikan angkot itu. Kesempatan itu sebentar lagi berlari meninggalkanku. Padahal aku ingin ada jejak yang tertinggal dari pertemuan ini. Ketika ia bersiap masuk ke angkot, gelembung yang sedari tadi yang mengumpal di dadaku akhirnya terpecah dalam satu hentakan yang tak kuduga.

“Nama kamu siapa?” seruku sambil berebut dengan suara hujan.

Ia berpaling ke arahku dan kembali memperlihatkan senyum yang merekah hangat bak mentari di ujung hari itu.

“Nayla.”

Lantas ia masuk ke angkot yang langsung berjalan pergi meninggalkan aku yang belum sempat mengucapkan namaku. Hujan makin deras bersamaan dengan hatiku yang bergemuruh tidak karuan. Ketika mendengar namanya, hatiku baru saja meledak menjadi puluhan kuntum mawar.

Maka ketika hujan kembali menyapaku, ia bukan hanya membawa rintik air namun juga membawa rintik memori tentang dia. Jika orang lain selalu kesusahan mendefiniskan tentang cinta pertama maka aku lain. Cinta pertama bagiku adalah saat hujan, aku yang sendirian dalam kamar akan mendekat ke arah jendela dan dengan uap hujan aku akan menuliskan namaku dan namanya ditengah sebuah lingkaran berbentuk hati. Sembari tersenyum sendiri. Ada rasa malu-malu namun ada juga rasa ingin tahu. Entah mengapa, hujan selalu membuat rindu makin gencar dirasa. Tiap kali hujan, lamunanku menyebrang bersama air yang dibawa langit itu. Sedang apa ia sekarang? Apakah ia juga merasakan apa yang kurasakan? Apakah ia juga melakukan apa yang kulakukan? Pikiran-pikiran itu sering kali datang menggangu namun di lain sisi juga membuat suatu keindahan tak terperi.

    
Cinta pertama itu tak pernah terungkap. Aku menyimpannya rapi bagai kotak harta karun yang ingin selamanya kupendam di hati. Biarkan ia berbicara melalui udara, berbisik melalu gemricik aliran hujan dan mewangi dalam bau tanah sehabis gerimis. Tak mengapa, aku memilikinya dengan cara lain. Lewat namanya dan namaku yang kutulis di kaca jendela dengan embun atau uap hujan. Lewat rindu-rindu yang dibawa air dan menguap ke langit. Untuk itulah aku selalu suka hujan karena rasanya rinduku kepadanya ikut tersampaikan lewat rintiknya. Untuk itulah aku selalu suka musim penghujan terutama bulan Desember karena selalu membawaku kembali pada satu memori. Sebuah cinta pertama yang dibawa oleh hujan.




Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember
Di bulan desember......

Karena aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember
Di bulan desember...
.....................

Seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda.

Efek Rumah Kaca – “Desember”


Tuesday, December 1, 2015

Langit yang kangen



        
     Hati terkadang serupa cuaca. Dia dapat menyerupai hujan ketika dilanda suka, mampu menyerupai kemarau kala rindu gencar menyiksa. Hari ini, hatiku tengah dilanda keduanya sekaligus. Kebasahan dalam rintik kebahagiaan dan merana dalam kemarau rindu yang mendera. Masih terasa rasa yang menari lincah di kepala karena jiwa yang bersua meski hanya lewat suara. Lewat telepon kemarin malam yang sengaja kau tunggu. Dengan gelak tawa, suara manja, humor tak lucu, kalimat puitis dan segala milikmu yang selalu ku puja. Masih terasa sisa kemarin malam yang terus melekat di kepala. Tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Dari humor tawa sampai derai air mata. Segalanya tersimpan hangat di hati dan memori.
  

    Aku terbangun. Membuka mata dengan keadaan gelisah. Entah kenapa aku tidak merasa sendiri. Ada kamu disini. Kamu datang lewat suara, membisikan namamu lewat angin, menitipkan auramu lewat awan, membungkus kehadiranmu pada semesta. Apakah disana, semesta juga melakukan hal yang sama untukmu? Sudah sering kita membahas tentang ini, tentang kerinduan ini. Tentang jarak yang memisahkan kita begitu jauh. Tentang rasa kangen yang tak kuasa lagi dibungkus. Lewat sebuah percakapan telepon kau pernah memberi tahuku obat termanjur untuk rasa kangen yang tak sanggup lagi dibendung.”Jika kita kangen, maka pandanglah langit dengan begitu kita akan memandang langit yang sama. Langit tidak pernah berjarak dengan kita. Dari dulu, langit telah dijadikan sarana yang diberikan alam untuk membagi rasa. Karena alam selalu berbahasa. Dia dapat menyatukan segalanya.” Lalu bagaimana jika langit merasa kangen? Harus kemanakah dia menatap? Kemudian kita tertawa bersama, “ Kalau begitu langit tidak perlu menatap kemana-mana, dia tinggal melihat kita.”
  


   Sedari tadi, aku terus bingung antara diam atau menelponmu. Menceritakan bahwa semalam, aku memimpikanmu. Kita bertemu dalam mimpi. Disana, kita bermain tarik tambang, membangun rumah dari pasir, mencari kumbang, mencuri es krim, berlarian di taman. Hanya di alam abstrak itulah kita bisa bertemu. Bebas bercerita tanpa terikat ruang dan waktu. Tidak ada lagi jarak yang membentang. Haruskah aku memberitahumu? Padahal baru kemarin kita membuat sebuah perjanjian. Perjanjian bahwa siapapun yang pertama kali menelpon akan kalah dan mendapatkan hukuman. Membuat puisi itulah hukumannya. Aku tahu, sebenarnya hukuman itu lebih ditunjukan untukku. Aku bukanlah sepertimu, terkadang metafora hanyalah kalimat pembungkus palsu dari kenyataan, diksi hanyalah filterisasi dari kata-kata mutiara, aku tidak terlalu suka dan kau tahu itu. Tapi kali ini ketika rindu begitu gencar menyiksa, kala hati mencari sarana dari harapan yang tak bertuan maka menjelmalah aku menjadi pujangga dadakan. Aku akan menyelam ke laut mencari kata-kata indah bak mutiara dari permaisuri, aku akan mendaki menuju puncak bukit untuk membawa pulang cakrawala aksara, aku akan menarik senja untuk mencuri sekelumit semesta kata-kata. Akan kubungkus semua itu dalam bait-bait puisi yang nantinya dapat juga kau rindu. Demi kamu, aku tidak pernah peduli menang atau kalah, benar atau salah, hukuman atau pujian. Karena aku mencintaimu seperti denyut yang memompa jantung, seperti udara yang memijat langit. Melekat tanpa bisa terpisah. Jadi izikanlah aku untuk mengabarimu tentang rindu-rindu, tentang mimpiku semalam, tentang kita. Ternyata langit saja tak cukup untuk menjadi sarana dari rindu. Langit hanya mampu menjadi sarana bukan menjadi pelipur lara.
   


     Aku terdiam. Memegang gagang telepon dengan hening. Suara tunggu terdengar nyaring di telinga. Aku telah siap menjadi pujangga dadakan, aku telah siap ditertawai olehmu habis-habisan, aku telah siap kalah dengan gemilang. Tapi aku tidak pernah siap menanggung rindu ini sendirian. Hukum aku, akan kubuatkan sejuta puisi untukmu. Tapi jangan hukum aku dengan belenggu kesunyian.
  

    Hening itu mendadak terpecah. Ada suara di ujung telepon. Suara yang telah menjelma menjadi rintik gerimis di lahan kemarau hati, di gersang ranah jiwa. Sebelum kau menertawaiku, sebelum kau menghukumku, sebelum kau memintaku jadi pujangga dadakan. Izinkan aku bersuara, izinkan aku meluapkan rasa yang menyesak di dada.
  

   “ Aku kangen..”


Thursday, November 26, 2015

Sewindu



    Delapan tahun.
  
    Mari kita hitung kembali, sembilan puluh enam bulan, tiga ratus delapan puluh empat minggu, dua ribu delapan ratus delapan puluh hari, jutaan jam dan ratusan milyar sekon. Sebanyak itulah dia hadir dalam hidupmu. Dia, seseorang yang kau puja hingga muak. Dia, seseorang yang hadir di antara batas realita dan imaji. Dia, seseorang yang telah menyeret hatimu dalam perjalanan hati yang tiap hari kau agungkan. Delapan tahun adalah masa yang kau persembahkan dengan mengatasnamakan ketulusan.

    Sewindu.

    Sebanyak itulah cinta membeku dalam tabungan hatimu. Hitunganku tentang tahun, bulan,  minggu, hari, jam ataupun detik yang kau habiskan bersama dengannya masih sangat mungkin salah, karena aku bukanlah mesin kalkulator yang pandai berhitung. Namun kau lain, kau homo sapien yang dianugerahi dengan daya matematika di atas rata-rata. Dengan akurasi yang kadang mencengangkan logika. Segala sesuatu bagimu adalah angka-angka tidak terkecuali cinta. Tidak juga kehadiran, pengorbanan, kesetiaan, rayuan, gombalan, keromantisan atau bahkan kehilangan. Semua akan kau formulakan dalam angka-angka yang nantinya akan kau simpan hati-hati di file memori otakmu. Agar nanti jika kau butuh, tinggal membuka file yang kau inginkan. Dan terbukalah semua memorimu bersamanya. Yang membuatmu kepayang sekaligus terdera. Madu dan racun dalam satu tablet dengan kombinasi sempurna yang kau beri judul ‘kenangan’.


    Kepalamu memang sama baiknya dengan sebuah komputer. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dia kau simpan baik dalam kenanganmu yang tak pernah mengusang. Tanggal pertama kali bertemu, jam berapa dia pertama kali menelponmu, jam berapa pertama kali menggenggam tangannya, tanggal berapa terikrar janji itu, tanggal berapa kalian pertama makan malam bersama. Kau mengingatnya dengan sangat akurat. Hingga sekat pembeda antara bualan atau kenyataan telah melebur dalam logika yang kau namai ‘cinta’.

   “Aku mencintainya lebih dari yang kau tahu.” Begitu ucapmu selalu.


   Namun sayangnya, tidak semua kenanganmu tentang dia adalah sebuah kotak penuh  gulali manis. Malangnya, duka lebih banyak memayungi langit di kepalamu. Telah hampir muak kau membagi segala pahit yang menulikan telinga, menawarkan hati yang berulang kali terluka, melangkah lagi di alas duri yang sama. Berulang kali juga dia memporak-porandakan segala keyakinanmu. Namun kau bagai malaikat yang kesiangan turun dari surga. Sayap maaf kau lebarkan sepanjang mungkin untuk dapat merengkuh kesalahannya. Kau berkata syahdu bak pujangga cinta untuk mentolerir kebodohanmu dengan satu ayat berbunyi ‘pengorbanan’.

     “Aku menerimanya dengan segenap rasa yang kumiliki.” Ujarmu dengan khusyuk.
   
     “Hatimu hanya bisa mengemis rasa darinya.” Balasku dengan sengit.

      Kau tetap tidak peduli. Ketulusan telah membawamu begitu jauh, sangat jauh malah. Dalam lorong pekat yang kau namai dengan segala hal yang wangi. Hal itu kau lakukan semata-mata agar kau terus bemimpi, menutup mata bahwa hatimu telah begitu tersakiti. 


    Suatu waktu kau dapat memujanya dengan ribuaan puisi yang kau tulis, dengan pesan-pesan singkat nan romantis yang kau sadur dari penyair ternama, dengan bait-bait doa yang lirih kau ucapkan. Sebuah harapan yang kau genggam erat hingga mengaburkan segala logika. Namun terkadang, kau juga membenci segala kebodohanmu, merutuki ketidak berdayaanmu dihadapannya, terjebak lagi dalam lubang cinta dan luka yang sama, tertatih-tatih untuk kembali menemukan jalan pulang. Kemudian seketika kau berdalih, bahwa yang kau kecap selama ini adalah sebuah ketulusan. Ketulusan adalah refleksi langsung dari sebuah cinta, jalur bebas hambatan menuju rasa yang sejati, begitu ucapmu selalu. Tanpa segan, kau mulai berhitung lagi. Tentang ketulusanmu untuk dia yang menjelma lewat pagi-pagi, siang-siang atau malam-malam yang kau habiskan untuk menunggunya, mengharapkannya, memujanya, mencintainya atau juga mengemis rasa atasnya. Rentang waktu yang kau habiskan untuk berada dalam dimensi penuh larik-larik keindahannya yang terpahat rapi di dinding hatimu. Namun bisakah itu disebut ketulusan jika diukur-ukur, jika dihitung-hitung? Setahuku segala sesuatu yang sudah berkaitan dengan nalar untung dan rugi tak pantas lagi disangkutpautkan dengan aliran dalam hati. Karena nalar hanya akan membuat aliran itu menjadi pampat. Ketulusan bukan lagi ketulusan ketika ia sudah mulai bersanding dengan logika perhitungan.

     Sudah kuduga.

     Akhirnya, tanganmu terpaksa meraupkan penyesalan ke wajahmu. Dia yang selama ini kau puja bertahun-tahun, yang kau kira juga memendam ekspektasi akan cinta yang sama denganmu ternyata memilih untuk berpaling. Memilih untuk lepas dari pelukanmu yang  meringkih. Delapan tahun ternyata tak berbekas apapun baginya. Hanya sekedar bintang jatuh yang numpang lewat di hidupmu. Kilau cahayanya hanya membuatmu hancur tak berbekas. Seketika duniamu berubah getir dan melambat. Seakan tiap detiknya terasa mengiris kulitmu. Tiap waktu yang bergulir hanyalah kiamat yang bergerak menuju ke arah dan kesadaranmu.


    Kau menyesal pernah mengingat. Merutuki kesempatan yang diberikan sang takdir untuk memberinya ruangan di memorimu. Kau ingin amnesia, mendadak lupa apapun yang berbau tentang namanya. Hingga kau ingin menghapus habis tanpa sisa kenangan tentang dia. Tentang angka-angka itu, tentang harapan itu, tentang ketulusan itu, tentang delapan tahun itu. Semua ingin kau distraksi dari otakmu. Seandainya saja otak bukan hanya menyimpan kecerdasan namun juga tempat sampah pasti kau akan menempatkan kenangan itu disana semua. Membuangnya tanpa sisa. Namun otak memang dirancang untuk tak pernah berbaik hati kepada manusia. Kenangan yang mati-matian ingin kau lupakan malah membekas begitu dalam disana, memenuhi segala ruang dan membuat tak ada pilihan lain bagimu selain terkapar.
   

   Menjelmalah semua kenangan itu menjadi hantu yang membayangimu seumur hidup. Menjadi racun yang perlahan menyerang vitalitas jiwamu. Menjadi virus yang menjangkiti kepala komputermu. Sayangnya kepala komputermu tak pernah menyediakan Norton AntiVirus untuk mengantisipasi virus yang menyusup tersebut. Kau tak bisa melakukan apapun selain melihat virus tersebut memporak-porandakan semua yang kau miliki. Rasakanlah, hati yang mengkerut karena pegkhianatan. Karena ketulusan bukanlah dalil bahwa cinta pasti menjadi kata-kata merdu yang selama ini kau rindu. Lalu, apa yang bisa kau lakukan?



                                       Yang bisa kau lakukan hanyalah menerima.