Thursday, December 3, 2015

Hujan dan Cinta Pertama



Hujan selalu menyimpan cinta dalam tiap rintiknya. Selalu ada yang bernyanyi merdu di balik awan hitam. Untuk itulah aku selalu suka bulan Oktober, November, Desember atau Januari. Kala rintiknya dapat kita temui tiap hari. Saat suara merdu itu  dapat kita nikmati tiap waktu. Bau tanah basah yang membelai hidung adalah wangi alam yang tak akan pernah dibandingkan dengan merek parfum semahal apapun. Dan saat hujan usai meluruh maka giliran pelangi yang menunjukan digdayanya. Memamerkan tujuh warnanya untuk mencorak langit. Namun ada satu yang paling kusuka dari hujan. Hujan menyimpan satu memori yaitu kamu. Waktu itu bulan Desember, hujan tengah giat-giatnya menyapa bumi. Aku tidak akan pernah melupakan memori itu. Masih segar bagai tanah yang baru kemarin disiram gerimis.

Kita baru pulang sekolah waktu itu. Hujan deras seakan enggan untuk berhenti. Kamu dengan baju putih abu-abu milikmu tengah berteduh di depan salah satu toko. Sepertinya kamu sedang menunggu angkot yang tak kunjung datang. Aku berlarian menuju ke arahmu karena terus dikejar hujan. Dengan tubuh menggigil dan baju lepek aku ikut berteduh di depan toko yang sudah tutup. Mengetahui kehadiranku, kamu membagi senyum terhangat kepadaku. Senyum yang merekah bagai mentari di ujung hari. Satu energi yang dengan ajaibnya langsung membuat seluruh sistem tubuhku menghangat dengan sendirinya. Mungkin senyuman itu hanyalah sekedar standar basa-basi. Namun disanalah aku menemukan satu mentari yang ingin kucuri dan kusimpan selamanya di hati.

Hujan tak jua menunjukan keinginannya untuk reda. Dan, angkot yang ditunggu tak juga menunjukan batang hidungnya. Sesekali bunyi guntur terus menyahut. Kita duduk berdua di salah satu bangku panjang yang ada di depan toko itu. Dengan jarak yang terus dijaga. Ini bukan pertama kali aku melihatmu. Aku sering melihatmu dan tak ada impresi apa-apa. Namun kali ini lain, kamu terlihat begitu beda. Aku juga tidak tahu mengapa, mungkin karena hujan. Hujan membawa mentari yang selama ini tersembunyi darimu. Dan saat itu, tiap titik hujan yang jatuh juga membawa hatiku. Aku jatuh berulang-ulang, berkali-kali dan mungkin inilah yang disebut cinta pertama. Hatiku mekar bagai mawar di penghujung musim. Semerbak wanginya membuatku kepayang. Inilah candu yang banyak membuat manusia tergila-gila.

Selain suara hujan yang mencium tanah maka tak ada lagi bunyi dari kita. Kita terus memilih untuk diam. Seperti ada keenganan untuk memulai percakapan. Padahal ada puluhan kalimat yang menggumpal di dadaku. Aku ingin menyapamu, aku ingin mengajakmu berkenalan, aku ingin kau tahu namaku dan aku ingin tahu namamu. Namun segalanya masih mengendap di pikiran. Aku baru sadar betapa pengecutnya aku waktu itu. Aku makin merutuki sifatku yang pendiam.

Ingin sekali kubekukan waktu. Biarkan ia berhenti di sini. Cukup dengan aku, dia dan hujan. Maka segalanya akan sempurna. Sebuah cinta pertama yang malu-malu namun manis begitu dirasa. Tuhan pasti saat ini tengah menahan tawa, melihat dua manusia yang kikuk dengan keenganan untuk mulai bicara. Atau malah jangan-jangan ini memang yang Tuhan mau. Tuhan sengaja turunkan hujan, Tuhan sengaja menyembunyikan angkot, Tuhan sengaja menutup toko ini dan Tuhan sengaja menyiapan bangku ini untuk kami berdua. Jika iya, maka aku harus memberikan ribuan terima kasih dan doa penuh syukur. Apa jadinya jika tidak hujan? Apa jadinya jika angkot itu ada? Apa jadinya jika toko ini masih buka? Apa jadinya jika tidak ada bangku untuk berdua? Mungkin aku tidak akan pernah melihat satu mentari merekah yang ingin kucuri dan kusimpan selamanya di hati. Mungkin aku tidak pernah jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Aku tidak ingin melihat momen ini berlalu begitu saja. Aku ingin meninggalkan jejak untukmu. Aku ingin mendengar suara darimu dan aku juga ingin memulai obrolan. Apa saja, asal aku bisa mendengar suara darimu.

“Kamu tahu tidak kalau hujan itu tidak pernah kemana-mana. Ia turun hanya untuk naik lagi ke langit?” Ah, terlalu bersayap.

“Kamu tahu tidak menurut penelitian bau tanah sehabis hujan itu menyehatkan?” Ah, terlalu teoritis.

“Aku selalu ingin jadi hujan. Datang, menguap dan pergi tanpa meninggalkan beban. Kalau kamu ingin jadi apa?” Tidak etis, bahkan kita belum saling kenal.      

“Kamu tahu tidak kalau pada jaman dahulu,  petir itu dianggap sebagai penanda kalau para dewa sedang ngamuk?” Pertanyaan macam apa ini?

Akhirnya tidak ada yang keluar dari mulutku. Sesuatu yang terus kurutuki. Betapa kepengecutan harus hadir di saat yang tidak tepat. Dan, Tuhan sepertinya memang ingin memperlihatkan bahwa kesempatan jika disia-siakan maka ia akan segera berpaling. Itu dibuktikan lewat sebuah angkot yang datang menghampiri kami. Sebuah angkot berwarna biru dengan nomor jurusan bukan ke arah rumahku tapi mungkin ke arah rumahnya. Dan itu memang benar ketika ia bangkit berdiri dan bersiap untuk menghentikan angkot itu. Kesempatan itu sebentar lagi berlari meninggalkanku. Padahal aku ingin ada jejak yang tertinggal dari pertemuan ini. Ketika ia bersiap masuk ke angkot, gelembung yang sedari tadi yang mengumpal di dadaku akhirnya terpecah dalam satu hentakan yang tak kuduga.

“Nama kamu siapa?” seruku sambil berebut dengan suara hujan.

Ia berpaling ke arahku dan kembali memperlihatkan senyum yang merekah hangat bak mentari di ujung hari itu.

“Nayla.”

Lantas ia masuk ke angkot yang langsung berjalan pergi meninggalkan aku yang belum sempat mengucapkan namaku. Hujan makin deras bersamaan dengan hatiku yang bergemuruh tidak karuan. Ketika mendengar namanya, hatiku baru saja meledak menjadi puluhan kuntum mawar.

Maka ketika hujan kembali menyapaku, ia bukan hanya membawa rintik air namun juga membawa rintik memori tentang dia. Jika orang lain selalu kesusahan mendefiniskan tentang cinta pertama maka aku lain. Cinta pertama bagiku adalah saat hujan, aku yang sendirian dalam kamar akan mendekat ke arah jendela dan dengan uap hujan aku akan menuliskan namaku dan namanya ditengah sebuah lingkaran berbentuk hati. Sembari tersenyum sendiri. Ada rasa malu-malu namun ada juga rasa ingin tahu. Entah mengapa, hujan selalu membuat rindu makin gencar dirasa. Tiap kali hujan, lamunanku menyebrang bersama air yang dibawa langit itu. Sedang apa ia sekarang? Apakah ia juga merasakan apa yang kurasakan? Apakah ia juga melakukan apa yang kulakukan? Pikiran-pikiran itu sering kali datang menggangu namun di lain sisi juga membuat suatu keindahan tak terperi.

    
Cinta pertama itu tak pernah terungkap. Aku menyimpannya rapi bagai kotak harta karun yang ingin selamanya kupendam di hati. Biarkan ia berbicara melalui udara, berbisik melalu gemricik aliran hujan dan mewangi dalam bau tanah sehabis gerimis. Tak mengapa, aku memilikinya dengan cara lain. Lewat namanya dan namaku yang kutulis di kaca jendela dengan embun atau uap hujan. Lewat rindu-rindu yang dibawa air dan menguap ke langit. Untuk itulah aku selalu suka hujan karena rasanya rinduku kepadanya ikut tersampaikan lewat rintiknya. Untuk itulah aku selalu suka musim penghujan terutama bulan Desember karena selalu membawaku kembali pada satu memori. Sebuah cinta pertama yang dibawa oleh hujan.




Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember
Di bulan desember......

Karena aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember
Di bulan desember...
.....................

Seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda.

Efek Rumah Kaca – “Desember”


No comments:

Post a Comment