Tuesday, December 1, 2015

Langit yang kangen



        
     Hati terkadang serupa cuaca. Dia dapat menyerupai hujan ketika dilanda suka, mampu menyerupai kemarau kala rindu gencar menyiksa. Hari ini, hatiku tengah dilanda keduanya sekaligus. Kebasahan dalam rintik kebahagiaan dan merana dalam kemarau rindu yang mendera. Masih terasa rasa yang menari lincah di kepala karena jiwa yang bersua meski hanya lewat suara. Lewat telepon kemarin malam yang sengaja kau tunggu. Dengan gelak tawa, suara manja, humor tak lucu, kalimat puitis dan segala milikmu yang selalu ku puja. Masih terasa sisa kemarin malam yang terus melekat di kepala. Tentang kamu, tentang aku, tentang kita. Dari humor tawa sampai derai air mata. Segalanya tersimpan hangat di hati dan memori.
  

    Aku terbangun. Membuka mata dengan keadaan gelisah. Entah kenapa aku tidak merasa sendiri. Ada kamu disini. Kamu datang lewat suara, membisikan namamu lewat angin, menitipkan auramu lewat awan, membungkus kehadiranmu pada semesta. Apakah disana, semesta juga melakukan hal yang sama untukmu? Sudah sering kita membahas tentang ini, tentang kerinduan ini. Tentang jarak yang memisahkan kita begitu jauh. Tentang rasa kangen yang tak kuasa lagi dibungkus. Lewat sebuah percakapan telepon kau pernah memberi tahuku obat termanjur untuk rasa kangen yang tak sanggup lagi dibendung.”Jika kita kangen, maka pandanglah langit dengan begitu kita akan memandang langit yang sama. Langit tidak pernah berjarak dengan kita. Dari dulu, langit telah dijadikan sarana yang diberikan alam untuk membagi rasa. Karena alam selalu berbahasa. Dia dapat menyatukan segalanya.” Lalu bagaimana jika langit merasa kangen? Harus kemanakah dia menatap? Kemudian kita tertawa bersama, “ Kalau begitu langit tidak perlu menatap kemana-mana, dia tinggal melihat kita.”
  


   Sedari tadi, aku terus bingung antara diam atau menelponmu. Menceritakan bahwa semalam, aku memimpikanmu. Kita bertemu dalam mimpi. Disana, kita bermain tarik tambang, membangun rumah dari pasir, mencari kumbang, mencuri es krim, berlarian di taman. Hanya di alam abstrak itulah kita bisa bertemu. Bebas bercerita tanpa terikat ruang dan waktu. Tidak ada lagi jarak yang membentang. Haruskah aku memberitahumu? Padahal baru kemarin kita membuat sebuah perjanjian. Perjanjian bahwa siapapun yang pertama kali menelpon akan kalah dan mendapatkan hukuman. Membuat puisi itulah hukumannya. Aku tahu, sebenarnya hukuman itu lebih ditunjukan untukku. Aku bukanlah sepertimu, terkadang metafora hanyalah kalimat pembungkus palsu dari kenyataan, diksi hanyalah filterisasi dari kata-kata mutiara, aku tidak terlalu suka dan kau tahu itu. Tapi kali ini ketika rindu begitu gencar menyiksa, kala hati mencari sarana dari harapan yang tak bertuan maka menjelmalah aku menjadi pujangga dadakan. Aku akan menyelam ke laut mencari kata-kata indah bak mutiara dari permaisuri, aku akan mendaki menuju puncak bukit untuk membawa pulang cakrawala aksara, aku akan menarik senja untuk mencuri sekelumit semesta kata-kata. Akan kubungkus semua itu dalam bait-bait puisi yang nantinya dapat juga kau rindu. Demi kamu, aku tidak pernah peduli menang atau kalah, benar atau salah, hukuman atau pujian. Karena aku mencintaimu seperti denyut yang memompa jantung, seperti udara yang memijat langit. Melekat tanpa bisa terpisah. Jadi izikanlah aku untuk mengabarimu tentang rindu-rindu, tentang mimpiku semalam, tentang kita. Ternyata langit saja tak cukup untuk menjadi sarana dari rindu. Langit hanya mampu menjadi sarana bukan menjadi pelipur lara.
   


     Aku terdiam. Memegang gagang telepon dengan hening. Suara tunggu terdengar nyaring di telinga. Aku telah siap menjadi pujangga dadakan, aku telah siap ditertawai olehmu habis-habisan, aku telah siap kalah dengan gemilang. Tapi aku tidak pernah siap menanggung rindu ini sendirian. Hukum aku, akan kubuatkan sejuta puisi untukmu. Tapi jangan hukum aku dengan belenggu kesunyian.
  

    Hening itu mendadak terpecah. Ada suara di ujung telepon. Suara yang telah menjelma menjadi rintik gerimis di lahan kemarau hati, di gersang ranah jiwa. Sebelum kau menertawaiku, sebelum kau menghukumku, sebelum kau memintaku jadi pujangga dadakan. Izinkan aku bersuara, izinkan aku meluapkan rasa yang menyesak di dada.
  

   “ Aku kangen..”


No comments:

Post a Comment