Thursday, November 26, 2015

Sewindu



    Delapan tahun.
  
    Mari kita hitung kembali, sembilan puluh enam bulan, tiga ratus delapan puluh empat minggu, dua ribu delapan ratus delapan puluh hari, jutaan jam dan ratusan milyar sekon. Sebanyak itulah dia hadir dalam hidupmu. Dia, seseorang yang kau puja hingga muak. Dia, seseorang yang hadir di antara batas realita dan imaji. Dia, seseorang yang telah menyeret hatimu dalam perjalanan hati yang tiap hari kau agungkan. Delapan tahun adalah masa yang kau persembahkan dengan mengatasnamakan ketulusan.

    Sewindu.

    Sebanyak itulah cinta membeku dalam tabungan hatimu. Hitunganku tentang tahun, bulan,  minggu, hari, jam ataupun detik yang kau habiskan bersama dengannya masih sangat mungkin salah, karena aku bukanlah mesin kalkulator yang pandai berhitung. Namun kau lain, kau homo sapien yang dianugerahi dengan daya matematika di atas rata-rata. Dengan akurasi yang kadang mencengangkan logika. Segala sesuatu bagimu adalah angka-angka tidak terkecuali cinta. Tidak juga kehadiran, pengorbanan, kesetiaan, rayuan, gombalan, keromantisan atau bahkan kehilangan. Semua akan kau formulakan dalam angka-angka yang nantinya akan kau simpan hati-hati di file memori otakmu. Agar nanti jika kau butuh, tinggal membuka file yang kau inginkan. Dan terbukalah semua memorimu bersamanya. Yang membuatmu kepayang sekaligus terdera. Madu dan racun dalam satu tablet dengan kombinasi sempurna yang kau beri judul ‘kenangan’.


    Kepalamu memang sama baiknya dengan sebuah komputer. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dia kau simpan baik dalam kenanganmu yang tak pernah mengusang. Tanggal pertama kali bertemu, jam berapa dia pertama kali menelponmu, jam berapa pertama kali menggenggam tangannya, tanggal berapa terikrar janji itu, tanggal berapa kalian pertama makan malam bersama. Kau mengingatnya dengan sangat akurat. Hingga sekat pembeda antara bualan atau kenyataan telah melebur dalam logika yang kau namai ‘cinta’.

   “Aku mencintainya lebih dari yang kau tahu.” Begitu ucapmu selalu.


   Namun sayangnya, tidak semua kenanganmu tentang dia adalah sebuah kotak penuh  gulali manis. Malangnya, duka lebih banyak memayungi langit di kepalamu. Telah hampir muak kau membagi segala pahit yang menulikan telinga, menawarkan hati yang berulang kali terluka, melangkah lagi di alas duri yang sama. Berulang kali juga dia memporak-porandakan segala keyakinanmu. Namun kau bagai malaikat yang kesiangan turun dari surga. Sayap maaf kau lebarkan sepanjang mungkin untuk dapat merengkuh kesalahannya. Kau berkata syahdu bak pujangga cinta untuk mentolerir kebodohanmu dengan satu ayat berbunyi ‘pengorbanan’.

     “Aku menerimanya dengan segenap rasa yang kumiliki.” Ujarmu dengan khusyuk.
   
     “Hatimu hanya bisa mengemis rasa darinya.” Balasku dengan sengit.

      Kau tetap tidak peduli. Ketulusan telah membawamu begitu jauh, sangat jauh malah. Dalam lorong pekat yang kau namai dengan segala hal yang wangi. Hal itu kau lakukan semata-mata agar kau terus bemimpi, menutup mata bahwa hatimu telah begitu tersakiti. 


    Suatu waktu kau dapat memujanya dengan ribuaan puisi yang kau tulis, dengan pesan-pesan singkat nan romantis yang kau sadur dari penyair ternama, dengan bait-bait doa yang lirih kau ucapkan. Sebuah harapan yang kau genggam erat hingga mengaburkan segala logika. Namun terkadang, kau juga membenci segala kebodohanmu, merutuki ketidak berdayaanmu dihadapannya, terjebak lagi dalam lubang cinta dan luka yang sama, tertatih-tatih untuk kembali menemukan jalan pulang. Kemudian seketika kau berdalih, bahwa yang kau kecap selama ini adalah sebuah ketulusan. Ketulusan adalah refleksi langsung dari sebuah cinta, jalur bebas hambatan menuju rasa yang sejati, begitu ucapmu selalu. Tanpa segan, kau mulai berhitung lagi. Tentang ketulusanmu untuk dia yang menjelma lewat pagi-pagi, siang-siang atau malam-malam yang kau habiskan untuk menunggunya, mengharapkannya, memujanya, mencintainya atau juga mengemis rasa atasnya. Rentang waktu yang kau habiskan untuk berada dalam dimensi penuh larik-larik keindahannya yang terpahat rapi di dinding hatimu. Namun bisakah itu disebut ketulusan jika diukur-ukur, jika dihitung-hitung? Setahuku segala sesuatu yang sudah berkaitan dengan nalar untung dan rugi tak pantas lagi disangkutpautkan dengan aliran dalam hati. Karena nalar hanya akan membuat aliran itu menjadi pampat. Ketulusan bukan lagi ketulusan ketika ia sudah mulai bersanding dengan logika perhitungan.

     Sudah kuduga.

     Akhirnya, tanganmu terpaksa meraupkan penyesalan ke wajahmu. Dia yang selama ini kau puja bertahun-tahun, yang kau kira juga memendam ekspektasi akan cinta yang sama denganmu ternyata memilih untuk berpaling. Memilih untuk lepas dari pelukanmu yang  meringkih. Delapan tahun ternyata tak berbekas apapun baginya. Hanya sekedar bintang jatuh yang numpang lewat di hidupmu. Kilau cahayanya hanya membuatmu hancur tak berbekas. Seketika duniamu berubah getir dan melambat. Seakan tiap detiknya terasa mengiris kulitmu. Tiap waktu yang bergulir hanyalah kiamat yang bergerak menuju ke arah dan kesadaranmu.


    Kau menyesal pernah mengingat. Merutuki kesempatan yang diberikan sang takdir untuk memberinya ruangan di memorimu. Kau ingin amnesia, mendadak lupa apapun yang berbau tentang namanya. Hingga kau ingin menghapus habis tanpa sisa kenangan tentang dia. Tentang angka-angka itu, tentang harapan itu, tentang ketulusan itu, tentang delapan tahun itu. Semua ingin kau distraksi dari otakmu. Seandainya saja otak bukan hanya menyimpan kecerdasan namun juga tempat sampah pasti kau akan menempatkan kenangan itu disana semua. Membuangnya tanpa sisa. Namun otak memang dirancang untuk tak pernah berbaik hati kepada manusia. Kenangan yang mati-matian ingin kau lupakan malah membekas begitu dalam disana, memenuhi segala ruang dan membuat tak ada pilihan lain bagimu selain terkapar.
   

   Menjelmalah semua kenangan itu menjadi hantu yang membayangimu seumur hidup. Menjadi racun yang perlahan menyerang vitalitas jiwamu. Menjadi virus yang menjangkiti kepala komputermu. Sayangnya kepala komputermu tak pernah menyediakan Norton AntiVirus untuk mengantisipasi virus yang menyusup tersebut. Kau tak bisa melakukan apapun selain melihat virus tersebut memporak-porandakan semua yang kau miliki. Rasakanlah, hati yang mengkerut karena pegkhianatan. Karena ketulusan bukanlah dalil bahwa cinta pasti menjadi kata-kata merdu yang selama ini kau rindu. Lalu, apa yang bisa kau lakukan?



                                       Yang bisa kau lakukan hanyalah menerima.





Wednesday, November 25, 2015

Energi Dari Tuan Gajah



Dua tiket impian sudah ada di genggaman semenjak dua puluh tiga hari yang lalu. Ada sensasi luar biasa ketika telapak tangan dapat menyentuh benda tersebut. Perjalanan panjang nan melelahkan memang selalu menuju ke satu titik. Dan titik itu terlingkar di sebuah penanggalan yang membulat di angka 19 di bulan kedelapan. Bagi orang lain, barangkali tidak ada yang istimewa dengan tanggal tersebut namun tidak bagi pemilik benda tersebut. Karena sang pemberi inspirasi akan memperlihatkan bahwa segala sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tidak pernah menghasilkan kesia-siaan. Semua diawali dengan perjalanan menembus udara kota Purwokerto yang biasanya bersahabat namun tidak bagi saya waktu itu. Flu dan tidak enak badan adalah parasit saya hari itu. Namun, apabila saya mengalah hanya karena flu dan tidak enak badan lalu mengagalkan rencana bertatap muka langsung dengan sang pemberi inspirasi tentu saya pantas dimasukan satu penjara dengan Malin Kundang.

Saya tiba di lokasi tepat setengah jam sebelum acara dimulai. Tidak ada yang istimewa dari peristiwa tersebut kecuali ketika pemeriksaan tas sebelum masuk. Seorang panita dengan kacamata besar meneliti isi tas saya dengan runut. Mulutnya terus komat-kamit seakan tengah membaca mantra. Hingga dia menatap mata saya dengan mata jenaka dan bertanya:
            
 “Mas, tidak bawa pistol kan?”

Saya tahu pertanyaan itu adalah sebuah gurauan apalagi dengan nada bercandanya yang khas. Aku juga ingin membalas dengan gurauan lainnya juga seperti:
           
 “Nggak kok mas. Saya cuma bawa bom rakitan!”

Namun selera humorku melayu ditelan oleh flu dan lebih memilih untuk membalas gurauan tersebut dengan senyuman tipis. Tidak perlu waktu lama, untuk membuat sebuah ruangan yang telah disulap menjadi panggung untuk kemudian penuh sesak diisi oleh orang-orang yang memiliki motivasi sama denganku. Diawali dengan insiden “salah kursi” akhirnya kursi dengan nomor yang tepat berhasil didapatkan. Suasana yang tadinya riuh mendadak hening ketika lampu dimatikan. Kita semua tahu bahwa ini bukan waktunya untuk bicara namun untuk melihat dan merasakan. Bukan hanya untuk sebuah hiburan namun sebuah energi yang barangkali hanya bisa didapatkan di tempat tersebut.

Acara diawali dengan alunan musik magis namun romantis yang dibawakan secara sempurna oleh orang-orang yang menggunakan kostum serupa dan menamai diri mereka sebagai “Sakarepe Percussion”. Saya tidak tahu latar belakang pemberian nama tersebut, karena “Sakarepe” bila diartikan secara bebas artinya adalah semaunya sendiri. Namun bila  melihat bagaimana mereka memainkan perkusi tentu mereka tidak bermain dengan metode “Sakarepe”. Mereka bermain musik dengan indah, cantik dan sangat memperhatikan estetika. Membuat semua penonton dirundung oleh suasana musik yang unik dan juga eksotis.

Kemudian dilanjutkan dengan kehadiran sang maestro tari asal Indonesia yaitu Didi Nini Thowok. Langkah pertamanya di panggung saja sudah mampu membuat orang terhibur. Geraknya yang gemulai, tariannya yang indah dan selipan-selipan humor khas miliknya yang membuat suasana acara tersebut menghangat. Hangat yang kemudian berubah menjadi keterikatan antara sang penghibur dan penonton bahwa mereka berada di sana dan dipertemukan karena sebuah tujuan yang entah apa. Namun Didi Nini Thowok sekali lagi (dan lagi) menunjukan bahwa seni dapat membawanya kemana-mana. Membuat mereka yang mengaku sebagai pemuda seharusnya malu bila terus-terusan mengarahkan kiblatnya ke Barat.

Namun kami semua yang berada di ruangan tersebut menyadari bahwa hanya ada satu manusia yang menjadi alasan terbesar kami berdesak-desakan disana. Ketika cahaya meredup bahkan bisa dibilang menghilang, kami dengan rasa was-was menanti kehadiran satu manusia tersebut. Bahkan saya harus menahan rasa nyeri di dada karena tidak sabar melihat sang idola. Tapi kesabaran kami kembali diuji ketika para panitia menyadari ada yang kurang sempurna dari peralatan musik di panggung. Sehingga improvisasi dan perbaikan harus dilakukan. Sekaligus membuat nada-nada kecewa tidak bisa disembunyikan.

Hingga gumpalan kekecewaan tersebut memecah menjadi teriakan bahagia dari para penonton ketika pria berbadan subur tersebut menginjakan langkah pertamanya di panggung. Lampu sorot langsung tertuju kepada pria dengan Kemeja warna hitamnya yang seakan membaur dengan desain panggung. Namun ada satu yang tidak pernah hilang darinya, binar mata yang memancarkan ketulusan, tak ubahnya seperti nama yang ia miliki.


Hentakan musik langsung menarik penonton dalam pusaran penampilannya. Aku sendiri hapal betul dengan intro dari hentakan musik tersebut yang hanya bisa kubisikan dalam hati “Baru”. Begitulah judul lagu untuk menjadi pembuka penampilannya yang selalu bisa membius orang-orang yang berada dalam radius auranya. Tak perlu waktu lama untuk kemudian membuatnya menjadi pusat perhatian. Apalagi dengan gestur ramahnya yang tidak pernah luntur. Sebagian penonton ada yang ikut bernyanyi, sebagian yang lain hanya bisa menggerakan badan mengikuti irama. 

Sedangkan aku? Aku masih perlahan mencerna kebahagiaan dengan daya yang dapat melesakanku kapan saja ini. Lalu hentakan musik bergulir ke lagu ke dua, ke salah satu judul lagu yang paling sering saya dengar di pagi hari. Dengan satu motivasi yang tidak pernah berubah yaitu menjaga api semangat agar tidak gampang pudar. Diawali dengan pria tersebut yang meminta seluruh penonton untuk berdiri dari kursi kami yang nyaman. Kami semua bagaikan disihir oleh kalimat tersebut, mengikuti apa saja titah yang keluar dari mulutnya. “Lagu Untuk Matahari” pun resmi berkumandang. Entah sihir apa yang diselipkan dalam lagu tersebut hingga mampu membuat seluruh penonton terbakar api semangat yang mengelagakan dada dan dengan suka rela mengeluarkan suara terkuat dari tenggorokannya untuk bersama-sama bernyanyi. “Jeritan” penuh semangat dan motivasi pun memenuhi ruangan. Membuat siapa saja yang masih memiliki hati pasti akan gemetar merasakannya.

             Lakukan yang kau suka.. Hidupmu bukan hidupnya.

Satu baris lirik yang entah kenapa selalu terdengar lebih keras ketimbang bait dari lirik lainnya.
           
 “Ini adalah lagu untuk selalu berpikir positif.” Begitu ujar pria yang memiliki julukan Tuan Gajah tersebut untuk mengakhiri lagu yang menguras emosi ini. Kemudian kami semua dengan suka rela ikut terhanyut dalam lagu-lagu selanjutnya yang dibawakan oleh pria yang berasal dari Bukittinggi ini. Dia memang adalah sebuah ombak yang terlalu besar untuk ditahan oleh siapa saja. Hanya ada satu pilihan bagi kami yaitu ikut terbawa arus ombak tersebut. Gajah, Jangan Cintai Aku Apa Adanya, Bumerang, Kisah Sebentar dan Juwita Malam kemudian menjadi penyaji berikutnya. Semua dibawakan dengan suara merdu tanpa cela. Penampilannya diselingi dengan kalimat berbagai pengalaman bahwa ini adalah kali pertamanya menginjakan kaki di kota kecil bernama Purwokerto. Tempe Mendoan dan Getuk adalah sedikit makanan yang ia buru di kota kecil ini. Membuat kami sebagai tuan rumah ikut kecipratan sedikit bahagia dan bangga karena jenis makanan yang hampir setiap hari kami temui dapat dirasakan juga oleh sang idola.
           
 “Jujur, ini adalah kali pertama saya menginjakan kaki di kota ini. Purwokerto adalah sebuah kota yang kecil namun indah. Saya berniat untuk suatu saat nanti bisa kembali lagi ke sini.” Pungkasnya dengan mata berbinar.

Hingga akhirnya sebuah lagu yang begitu difavoritkan oleh diri sendiri dibawakan juga. Lagu inilah yang menjadi penyambung saya untuk mendengarkan lagu-lagu berikutnya dari Tuan Gajah ini. Saya masih ingat betul moment pertama kali mendengarkan lagu ini. Termenung dan tidak bisa berkata sambil menahan mulut agar tidak terbuka lebar. Penyambung yang kemudian membuat saya mengikuti karyanya dan akhirnya saya terpikat. “Sepatu” adalah apa yang saya maksud. Sebuah lagu yang terdiri dari cerita yang sebenarnya biasa namun ia analogikan dengan cerdas disisipi dengan diksi yang menawan. Siapa pula yang tidak terpikat? Saya menyebut dia sebagai musisi anomali ketika yang lain  masih sibuk berkutat di inspirasi yang sama. Tuan Gajah bukan hanya mengetuk pintu inspirasi namun  dia mendobraknya sekaligus.

Namun waktu memang selalu menjadi musuh bagi siapapun yang tidak ingin melepaskan moment tersebut. Lagu terakhir akan segera dipersembahkan. Namun Tuan Gajah dan kami sama-sama mengikrarkan janji atau lebih tepatnya hutang. Kami berhutang kepada Tuan Gajah bahwa akan selalu mengapresiasi karya-karyanya sedangkan Tuan Gajah berhutang kepada kami untuk segera menyelesaikan album ketiganya dan kembali lagi kesini suatu saat nanti. Selain itu, kami juga saling memberikan energi. Energi yang tidak lagi membakar namun hangat kekal. Bukankah itu yang semua orang cari?

“Tepat di saat hari buruk menyerang. Tenang saja, masih banyak hari baik yang menunggu giliran.” Tulus