Wednesday, November 25, 2015

Energi Dari Tuan Gajah



Dua tiket impian sudah ada di genggaman semenjak dua puluh tiga hari yang lalu. Ada sensasi luar biasa ketika telapak tangan dapat menyentuh benda tersebut. Perjalanan panjang nan melelahkan memang selalu menuju ke satu titik. Dan titik itu terlingkar di sebuah penanggalan yang membulat di angka 19 di bulan kedelapan. Bagi orang lain, barangkali tidak ada yang istimewa dengan tanggal tersebut namun tidak bagi pemilik benda tersebut. Karena sang pemberi inspirasi akan memperlihatkan bahwa segala sesuatu yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tidak pernah menghasilkan kesia-siaan. Semua diawali dengan perjalanan menembus udara kota Purwokerto yang biasanya bersahabat namun tidak bagi saya waktu itu. Flu dan tidak enak badan adalah parasit saya hari itu. Namun, apabila saya mengalah hanya karena flu dan tidak enak badan lalu mengagalkan rencana bertatap muka langsung dengan sang pemberi inspirasi tentu saya pantas dimasukan satu penjara dengan Malin Kundang.

Saya tiba di lokasi tepat setengah jam sebelum acara dimulai. Tidak ada yang istimewa dari peristiwa tersebut kecuali ketika pemeriksaan tas sebelum masuk. Seorang panita dengan kacamata besar meneliti isi tas saya dengan runut. Mulutnya terus komat-kamit seakan tengah membaca mantra. Hingga dia menatap mata saya dengan mata jenaka dan bertanya:
            
 “Mas, tidak bawa pistol kan?”

Saya tahu pertanyaan itu adalah sebuah gurauan apalagi dengan nada bercandanya yang khas. Aku juga ingin membalas dengan gurauan lainnya juga seperti:
           
 “Nggak kok mas. Saya cuma bawa bom rakitan!”

Namun selera humorku melayu ditelan oleh flu dan lebih memilih untuk membalas gurauan tersebut dengan senyuman tipis. Tidak perlu waktu lama, untuk membuat sebuah ruangan yang telah disulap menjadi panggung untuk kemudian penuh sesak diisi oleh orang-orang yang memiliki motivasi sama denganku. Diawali dengan insiden “salah kursi” akhirnya kursi dengan nomor yang tepat berhasil didapatkan. Suasana yang tadinya riuh mendadak hening ketika lampu dimatikan. Kita semua tahu bahwa ini bukan waktunya untuk bicara namun untuk melihat dan merasakan. Bukan hanya untuk sebuah hiburan namun sebuah energi yang barangkali hanya bisa didapatkan di tempat tersebut.

Acara diawali dengan alunan musik magis namun romantis yang dibawakan secara sempurna oleh orang-orang yang menggunakan kostum serupa dan menamai diri mereka sebagai “Sakarepe Percussion”. Saya tidak tahu latar belakang pemberian nama tersebut, karena “Sakarepe” bila diartikan secara bebas artinya adalah semaunya sendiri. Namun bila  melihat bagaimana mereka memainkan perkusi tentu mereka tidak bermain dengan metode “Sakarepe”. Mereka bermain musik dengan indah, cantik dan sangat memperhatikan estetika. Membuat semua penonton dirundung oleh suasana musik yang unik dan juga eksotis.

Kemudian dilanjutkan dengan kehadiran sang maestro tari asal Indonesia yaitu Didi Nini Thowok. Langkah pertamanya di panggung saja sudah mampu membuat orang terhibur. Geraknya yang gemulai, tariannya yang indah dan selipan-selipan humor khas miliknya yang membuat suasana acara tersebut menghangat. Hangat yang kemudian berubah menjadi keterikatan antara sang penghibur dan penonton bahwa mereka berada di sana dan dipertemukan karena sebuah tujuan yang entah apa. Namun Didi Nini Thowok sekali lagi (dan lagi) menunjukan bahwa seni dapat membawanya kemana-mana. Membuat mereka yang mengaku sebagai pemuda seharusnya malu bila terus-terusan mengarahkan kiblatnya ke Barat.

Namun kami semua yang berada di ruangan tersebut menyadari bahwa hanya ada satu manusia yang menjadi alasan terbesar kami berdesak-desakan disana. Ketika cahaya meredup bahkan bisa dibilang menghilang, kami dengan rasa was-was menanti kehadiran satu manusia tersebut. Bahkan saya harus menahan rasa nyeri di dada karena tidak sabar melihat sang idola. Tapi kesabaran kami kembali diuji ketika para panitia menyadari ada yang kurang sempurna dari peralatan musik di panggung. Sehingga improvisasi dan perbaikan harus dilakukan. Sekaligus membuat nada-nada kecewa tidak bisa disembunyikan.

Hingga gumpalan kekecewaan tersebut memecah menjadi teriakan bahagia dari para penonton ketika pria berbadan subur tersebut menginjakan langkah pertamanya di panggung. Lampu sorot langsung tertuju kepada pria dengan Kemeja warna hitamnya yang seakan membaur dengan desain panggung. Namun ada satu yang tidak pernah hilang darinya, binar mata yang memancarkan ketulusan, tak ubahnya seperti nama yang ia miliki.


Hentakan musik langsung menarik penonton dalam pusaran penampilannya. Aku sendiri hapal betul dengan intro dari hentakan musik tersebut yang hanya bisa kubisikan dalam hati “Baru”. Begitulah judul lagu untuk menjadi pembuka penampilannya yang selalu bisa membius orang-orang yang berada dalam radius auranya. Tak perlu waktu lama untuk kemudian membuatnya menjadi pusat perhatian. Apalagi dengan gestur ramahnya yang tidak pernah luntur. Sebagian penonton ada yang ikut bernyanyi, sebagian yang lain hanya bisa menggerakan badan mengikuti irama. 

Sedangkan aku? Aku masih perlahan mencerna kebahagiaan dengan daya yang dapat melesakanku kapan saja ini. Lalu hentakan musik bergulir ke lagu ke dua, ke salah satu judul lagu yang paling sering saya dengar di pagi hari. Dengan satu motivasi yang tidak pernah berubah yaitu menjaga api semangat agar tidak gampang pudar. Diawali dengan pria tersebut yang meminta seluruh penonton untuk berdiri dari kursi kami yang nyaman. Kami semua bagaikan disihir oleh kalimat tersebut, mengikuti apa saja titah yang keluar dari mulutnya. “Lagu Untuk Matahari” pun resmi berkumandang. Entah sihir apa yang diselipkan dalam lagu tersebut hingga mampu membuat seluruh penonton terbakar api semangat yang mengelagakan dada dan dengan suka rela mengeluarkan suara terkuat dari tenggorokannya untuk bersama-sama bernyanyi. “Jeritan” penuh semangat dan motivasi pun memenuhi ruangan. Membuat siapa saja yang masih memiliki hati pasti akan gemetar merasakannya.

             Lakukan yang kau suka.. Hidupmu bukan hidupnya.

Satu baris lirik yang entah kenapa selalu terdengar lebih keras ketimbang bait dari lirik lainnya.
           
 “Ini adalah lagu untuk selalu berpikir positif.” Begitu ujar pria yang memiliki julukan Tuan Gajah tersebut untuk mengakhiri lagu yang menguras emosi ini. Kemudian kami semua dengan suka rela ikut terhanyut dalam lagu-lagu selanjutnya yang dibawakan oleh pria yang berasal dari Bukittinggi ini. Dia memang adalah sebuah ombak yang terlalu besar untuk ditahan oleh siapa saja. Hanya ada satu pilihan bagi kami yaitu ikut terbawa arus ombak tersebut. Gajah, Jangan Cintai Aku Apa Adanya, Bumerang, Kisah Sebentar dan Juwita Malam kemudian menjadi penyaji berikutnya. Semua dibawakan dengan suara merdu tanpa cela. Penampilannya diselingi dengan kalimat berbagai pengalaman bahwa ini adalah kali pertamanya menginjakan kaki di kota kecil bernama Purwokerto. Tempe Mendoan dan Getuk adalah sedikit makanan yang ia buru di kota kecil ini. Membuat kami sebagai tuan rumah ikut kecipratan sedikit bahagia dan bangga karena jenis makanan yang hampir setiap hari kami temui dapat dirasakan juga oleh sang idola.
           
 “Jujur, ini adalah kali pertama saya menginjakan kaki di kota ini. Purwokerto adalah sebuah kota yang kecil namun indah. Saya berniat untuk suatu saat nanti bisa kembali lagi ke sini.” Pungkasnya dengan mata berbinar.

Hingga akhirnya sebuah lagu yang begitu difavoritkan oleh diri sendiri dibawakan juga. Lagu inilah yang menjadi penyambung saya untuk mendengarkan lagu-lagu berikutnya dari Tuan Gajah ini. Saya masih ingat betul moment pertama kali mendengarkan lagu ini. Termenung dan tidak bisa berkata sambil menahan mulut agar tidak terbuka lebar. Penyambung yang kemudian membuat saya mengikuti karyanya dan akhirnya saya terpikat. “Sepatu” adalah apa yang saya maksud. Sebuah lagu yang terdiri dari cerita yang sebenarnya biasa namun ia analogikan dengan cerdas disisipi dengan diksi yang menawan. Siapa pula yang tidak terpikat? Saya menyebut dia sebagai musisi anomali ketika yang lain  masih sibuk berkutat di inspirasi yang sama. Tuan Gajah bukan hanya mengetuk pintu inspirasi namun  dia mendobraknya sekaligus.

Namun waktu memang selalu menjadi musuh bagi siapapun yang tidak ingin melepaskan moment tersebut. Lagu terakhir akan segera dipersembahkan. Namun Tuan Gajah dan kami sama-sama mengikrarkan janji atau lebih tepatnya hutang. Kami berhutang kepada Tuan Gajah bahwa akan selalu mengapresiasi karya-karyanya sedangkan Tuan Gajah berhutang kepada kami untuk segera menyelesaikan album ketiganya dan kembali lagi kesini suatu saat nanti. Selain itu, kami juga saling memberikan energi. Energi yang tidak lagi membakar namun hangat kekal. Bukankah itu yang semua orang cari?

“Tepat di saat hari buruk menyerang. Tenang saja, masih banyak hari baik yang menunggu giliran.” Tulus




















1 comment: