Friday, August 19, 2016

Energi Besar Dari Tuan Gajah



Bintang terang itu nyatanya diawali dengan sebuah pengalaman kecil ketika usianya masih menginjak belia. Pada saat itu dengan ditemani orang tuanya, ia pertama kali menonton konser musik di kota kelahirannya yaitu Padang. Dan penyaji acaranya tidak lain adalah penyanyi kondang sekaligus legenda musik Indonesia yakni Chrisye. Nyatanya kemahiran seorang Chrisye dalam menciptakan atmosfir yang menyihir di atas panggung membuatnya terpana. Semenjak itulah impian kecil lahir dalam dirinya, “Saya ingin menjadi musisi seperti Chrisye.” Bertahun-tahun kemudian, di sebuah kafe kecil di Bandung, dibantu oleh kakak kandungnya yaitu Riri Muktamar dan produser berpengalaman Ari ‘Aru’ Renaldi, dimulailah perjalanan panjang dalam membabad semak belukar industri musik Indonesia. Apalagi mereka mengawalinya dengan jalur yang tidak populer yaitu jalur musik indie. Tentu diperlukan lebih dari keberuntungan untuk bisa menapaki jalan terjal tersebut. Namun energi yang dirasakan ketika pertama kali melihat sang idola membuatnya tidak mundur. Perjalanan panjang itu pun ditapaki selangkah demi selangkah. Hingga kemudian bintang yang ia miliki sekarang tentunya tidak bisa ditampik oleh siapapun. Membuat gilirannya untuk membagikan energi positif kepada banyak orang. Tulus.
            Tepat pada tanggal 19 September 2015, Hall Hotel Aston Imperium Purwokerto telah disesaki oleh puluhan manusia. Padahal jarum jam baru menunjukan angka 19.08 WIB. Dimana  pertunjukan baru akan dimulai pada jam delapan malam nantinya. Namun hal tersebut tetap tidak mampu membendung antusiasme tinggi dari kami semua, termasuk saya di dalamnya. Bagaimana tidak? Musisi idola yang tengah naik daun menggelar acara musik di kota kami yang kecil. Tentu sebuah kesempatan langka yang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Sehingga kota Purwokerto yang sebenarnya sedang dirundung gerimis pun tidak terlalu saya pedulikan. Dengan mengendarai sepeda motor, saya berhasil menembus derasnya gerimis untuk sampai tepat waktu. Karena membeli tiket VVIP maka saya berhak menunggu di sebuah ruangan khusus yang terletak di lantai dua hotel tersebut. Dimana sebelum itu, saya dan juga pemegang tiket VVIP lainnya berhak untuk mengambil sebuah nomor undian. Dimana siapapun yang beruntung nantinya akan memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan Tulus. Tentunya saya memiliki harapan kecil untuk dapat memenangkan undian dan bertemu langsung dengan idola. Sesuatu yang nyatanya tidak sempat mewujud menjadi kenyataan.  
Sembari menunggu, pandangan terus berulang kali melihat tiket yang dipegang. Lantas muncul kenangan bagaimana perjuangan untuk bisa mendapatkan tiket tersebut. Diawali dengan sebuah tweet pendek dari Tulus yang mengatakan bahwa dia akan berkunjung ke Purwokerto. Tentunya kesempatan tersebut tidak ingin saya sia-siakan. Dengan sedikit bernafsu, saya terus mencoba menggali informasi tentang konser yang bakal diadakan oleh Tulus di Purwokerto. Hingga kemudian saya mendapatkan informasi lengkap tentang konser tersebut. Tanpa berpikir panjang, seluruh isi kepala segera mematok diri  sendiri untuk membeli tiket VVIP dari konser musik tersebut. Kesempatan untuk melihat idola dengan jarak dekat dan mendapatkan pengalaman tak terlupakan adalah satu-satunya ekspektasi saya waktu itu. Tapi bagi saya untuk bisa mendapatkan tiket VVIP bukanlah perkara gampang. Terutama dalam masalah harga. Namun sekali lagi saya terus memotivasi diri sendiri bahwa kesempatan seperti ini sulit untuk terulang dua kali. Akhirnya dengan mengikat pinggang, gaji pun dapat disisihkan untuk bisa membeli tiket tersebut. Masalah baru muncul ketika tiket hanya bisa didapatkan di booth khusus yang tersedia hanya di berbagai tempat dan tidak bisa dibeli secara online. Apalagi niat untuk membeli tiket secara on the spot juga harus diurungkan karena menurut panitia, penjualan tiket sangat cepat dan kemungkinan akan habis sebelum konser berlangsung.
Namun untungnya semesta berbaik hati, seorang teman bersedia mengantri untuk membelikan tiket di booth khusus tersebut. Dimana dia hanya meminta uang membeli tiket diganti dan ia ditraktir makan es krim di sebuah tempat makan terkenal di Purwokerto. Tentu untuk niat tulusnya dan keringatnya dalam mengantri panjang saya setuju dengan hal itu. Tapi nyatanya dia hanya meminta uangnya diganti dan ucapan ‘terima kasih’ saja sudah cukup untuk membalas semuanya. Sepertinya teman saya tahu betul betapa moment ini telah lama ditunggu. Hutang banyak terima kasih terus saya tempel di kepala untuk teman saya yang baik hati tersebut.
Seringkali pikiran melintas di kepala bahwa tidak mungkin saya melakukan ini semua jika tidak diiringi rasa kagum yang menggelembung di dada terhadap musisi berbadan subur ini. Tulus memang adalah seorang musisi yang akhir-akhir ini benar-benar telah meracuni saya dalam artian positif. Lagu-lagu dari dua albumnya yaitu TULUS dan Gajah hampir setiap hari saya putar. Dan tiap kali mendengarkannya, saya selalu berada dalam atmosfir yang menenangkan sekaligus menakjubkan. Nada musik yang cerdas dipadukan dengan lirik lagu yang anomali sekaligus puitis benar-benar kombinasi yang memabukkan.
Namun fokus saya terhadap karya musik Tulus adalah lirik-lirik lagu yang ia tulis. Barangkali banyak musisi di Indonesia yang mampu merangkai lirik-lirik yang puitis namun Tulus lain. Liriknya bukan hanya puitis namun apa ya.. saya juga sulit mendefinisikannya. Lirik yang ia tulis benar-benar sepertinya hanya satu orang di dunia ini yang mampu melakukannya, lirik yang “Sangat Tulus”. Lirik dengan diksi Bahasa Indonesia yang sangat santun dan juga jujur. Dimana keistimewaannya bukan hanya liriknya yang puitis namun juga bagaimana sudut pandang istimewa yang dimiliki oleh Tulus dalam menciptakan karyanya. Bagi saya, sudut pandang adalah hal yang spesial sekaligus mahal bagi tiap kreator. Dan seorang Tulus memiliki sudut pandang tersebut dengan cara yang menakjubkan. Dimana akhir-akhir ini banyak sekali musisi yang mengaku sebagai anak band terkenal yang mengetuk inspirasi dan membuat lagu-lagu dengan tema yang itu-itu saja. Berkubang dalam lubang pintu inspirasi yang sama. Lain dengan Tulus, dia tidak mengetuk pintu inspirasi namun dia mendobraknya! Membuatnya pantas disebut sebagai musisi anomali.
Tulus juga berperan besar sebagai pintu bagi saya untuk mengenal musisi-musisi  hebat lainnya. Sebut saja seperti Bonita and The hus Band, Sarasvati, Endah N Rhesa, White Shoes and The Couples Company, Kunto Aji maupun Sore. Tapi kekaguman terbesar saya adalah  bagaimana perjuangan Tulus untuk memperjuangkan kata hatinya. Menjadi seorang musisi di Indonesia apalagi musisi Indie bukanlah sebuah pilihan yang populer. Apalagi dengan latar belakang keluarganya dan juga latar belakang pendidikannya di Universitas Katolik Parahyangan jurusan arsitektur. Tidak semua orang memiliki keberanian tersebut. Pertentangan dan juga pandangan sebelah mata tentunya adalah hal utama yang bakal Tulus dapatkan di awal perjalanannya. Namun dengan kerja keras, proses dan polesan impian nyatanya kemustahilan berbuah menjadi terang yang berubah menjadi energi besar.
            Acara yang dinamai; Melepas Senja – A Special Night With Tulus tersebut dimulai tepat pukul delapan malam. Diawali dengan insiden salah menduduki kursi akhirnya dengan dibantu seorang panitia yang baik hati, saya mendapatkan nomor kursi yang tepat. Yaitu nomor kursi delapan belas. Sebuah tempat yang cukup tepat untuk melihat idola dengan jarak yang ideal dan juga mendengar sound yang sempurna. Lampu-lampu di ruangan tersebut lantas dimatikan, menandakan bahwa pertunjukan tersebut telah dimulai. Diawali dengan pertunjukan dari para seniman pembuka. Mulai Sakarepe Percussion hingga seniman Indonesia yang telah melalang buana di dunia yaitu Didi Nini Thowok. Khusus untuk Didi Nini Thowok, bagi saya dia adalah seorang seniman sejati. Dia mampu membuat suasana menjadi hangat, inspiratif dan juga menghibur. Terutama dengan berbagai celetukan jenaka yang ia lemparkan.
Hingga kemudian penyaji utama dari acara ini tiba waktunya untuk muncul. Namun sayangnya, kemunculan sang idola terpaksa diundur beberapa waktu. Hal tersebut disebabkan karena sound system yang mengalami masalah. Dari kursi duduk, saya bisa melihat panitia yang terlihat panik dan beberapa kali melakukan kordinasi. Untungnya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, sound system berhasil diperbaiki. Anggota dari band penggiring Tulus pun mulai bermunculan satu per satu. Mulai dari Fuad Rudyan sang drummer, Sindhu Banyu Sekti si Bassis, si jenius sekaligus pianis yaitu Yonathan Godzali, Ferry Nurhayat yang memegang peran backing vocal dan satu lagi pria yang berperan sebagai gitaris yang sayangnya saya lupa namanya. Dimulai dengan lampu yang mendadak mati dan kemudian ada sebuah lampu sorot yang hanya berfokus pada satu orang yang muncul dibalik tirai hitam. Sang idola pun lantas muncul sembari diiringi teriakan penonton mengelu-elukan namanya. Tulus mengenakan baju kerah khasnya yang berwarna hitam membuatnya menyatu dengan suasana panggung.
Tanpa basa-basi, dentuman musik langsung menggetarkan tempat tersebut. “Jatuh Cinta” menjadi penampilan pembuka dari Tulus. Lagu tersebut lantas membuat Tulus mampu membawa penonton dalam atmosfir musiknya. Benar kata Risa Saraswati, Tulus adalah ombak yang terlalu kuat untuk ditahan oleh siapapun. Kami hanya bisa terbawa dalam arusnya yang menakjubkan. Saya membuktikan dengan dua mata saya sendiri. Entah beberapa kali kuping saya berdengung karena penonton disamping saya yang meneriakan nama Tulus dengan nada sangat tinggi. Mata penonton disamping saya sangat berbinar melihat sang idola berada di depan mata. Barangkali binar itu juga tengah saya miliki saat itu. Setelah lagu pertama selesai ditampilkan, Tulus memilih untuk menyapa para penonton.


            “Jujur, ini adalah kali pertama saya menginjakan kaki di kota ini. Purwokerto adalah sebuah kota yang kecil namun indah. Saya berniat untuk suatu saat nanti kembali lagi kesini.”Ujar Tulus.

            Kemudian pengalaman Tulus di Purwokerto, ia lanjutkan dengan menceritakannya tentang pengalaman pertama kalinya mencicipi makanan khas kota ini. Mulai dari Tempe Mendoan hingga Gethuk. Selain itu ia juga menjelaskan pengalamannya berjalan-jalan di kota Purwokerto yang nyaman sekaligus hening tersebut. Membuat suasana di tempat itu menjadi lebih cair lagi dengan beberapa gelak tawa yang sempat terdengar. Tidak membutuhkan waktu lama, Tulus melanjutkan kembali pertunjukannya. “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, “Sewindu”, “Bumerang”, “Gajah”, “Baru”, “Teman Hidup”, “Kisah Sebentar” hingga lagu Juwita Malam dibawakan dengan merdu sekaligus sempurna oleh pria yang lama tinggal di Bandung tersebut. Namun ada dua lagu yang paling berkesan yaitu Sepatu dan Lagu Untuk Matahari. Diawali dengan lagu Sepatu, dimana saat lagu tersebut didendangkan ada sebagian penonton yang berinisiatif melepaskan sepatu mereka dan menunjukannya ke udara. Seakan-akan ingin mewakili isi cerita dari lagu tersebut. Saya hanya bisa tersenyum geli saja. Sedangkan pada Lagu Untuk Matahari, seluruh penonton berdiri dari tempat kursinya. Hal tersebut permintaan langsung dari sang pemilik lagu.

            “Ini adalah lagu untuk selalu berpikir positif. Teman-teman, kitalah yang paling berhak atas hidup kita. Bukan orang lain, bukan siapapun. Kita adalah matahari untuk hidup kita sendiri. Ini adalah …. Lagu Untuk Matahari.” Jelas Tulus dengan berapi-api.

            Api semangat tersebut nyatanya mampu membakar gairah seluruh penonton di ruangan tersebut. Mereka semua ikut bernyanyi lagu tersebut. Saya sendiri belum pernah merasakan atmosfir sehebat ini sebelumnya. Hingga suasana tersebut berubah menjadi sihir yang menarikku dalam atmosfir tersebut. Saya yang sadar diri dengan kualitas suara entah kenapa juga ikut berteriak menyanyikan bait demi bait dari lirik lagu tersebut. atmosfir itu terlalu kuat untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Namun kemudian teori relativitas waktu benar-benar terbukti malam itu. Rentang waktu empat jam lebih serasa sekedip mata. Tulus telah berada di ujung penampilannya. Seribu Tahun pun menjadi lagu penutup dari malam yang luar biasa ini. Dia pamit dengan berjanji bahwa akan kembali lagi suatu saat nanti sekaligus meminta doa untuk kelancaran album ketiganya. Melepas Senja dengan Tuan Gajah pun berjalan sempurna.
            Sepanjang hidup saya yang pada saat itu telah melewati angka usia 21, itu adalah konser musik pertama kali yang saya tonton dan juga konser musik terbaik. Bukan hanya karena penampil utamanya adalah musisi yang tengah saya gandrungi namun lebih dari itu. Selalu lebih dari itu. Alasan utamanya tidak lain adalah karena energi besar sekaligus positif yang ditularkan oleh Tulus kepada seluruh orang yang berada disana. Selalu kesenangan yang tidak bisa dijelaskan ketika menonton musisi yang jujur dan juga bisa menikmati penampilannya sendiri. Dan Tulus adalah bungkus sempurna dari itu semua. Barangkali Chrisye tidak pernah menduga bahwa salah satu penampilannya lantas menginspirasi sekaligus memberikan energi yang begitu besar kepada seorang anak kecil yang menontonnya. Seorang anak kecil yang kemudian di masa mendatang nyatanya mengikuti jejaknya untuk memberikan energi positif kepada banyak orang. Saya termasuk diantaranya yang merasakan energi besar itu secara langsung. Energi besar yang berasal dari bintang terang bernama Tulus.

“Tepat di saat hari buruk menyerang. Tenang saja, masih banyak hari baik yang menunggu giliran.” Tulus.



4 comments:

  1. wooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus

    ReplyDelete
  2. wooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus

    ReplyDelete
  3. wooww super berkesan, saya rasa bang agung adalaj satu satunya orang di dunia ini yg mempunyai pemikiran sekreatif dan seunik ini tentang tulus

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete