Friday, August 19, 2016

Kopi 3 Warna



Caffe Latte. Machiato. Espresso. Capucinno.

Kami bertiga sepakat untuk menggeleng. Rentang empat tahun bukanlah sekejap mata. Deru pertemuan yang menggebu tidak pantas dirayakan dengan cangkir-cangkir kopi tak berkesan tersebut. Kami telah menentukan satu cangkir kopi yang akan menyatukan kami semua. Satu cangkir kopi yang juga menjadi permulaan persahabatan kami tujuh tahun yang lalu. Cangkir Kopi yang telah menjadi saksi bahwa persahabatan bisa terjadi meskipun tak terhitungnya perbedaan yang dimiliki. Kopi Luwak.
I’m still confused by the concept of Luwak Coffe. Bukankah kita sama saja minum kotoran binatang? And strangely we loved it!” Ujar Darwin dengan tergelak.
Yes, we are!” balas kami berdua.
Masih tergambar jelas, kenangan tujuh tahun lalu ketika Darwin pertama kali mencicipi kopi Luwak untuk pertama kalinya di tempat ini. Darwin yang berasal dari Amsterdam dan buta soal kopi apalagi jenis Kopi Indonesia, menduga bahwa Luwak adalah nama penyanyi Metal yang sedang naik daun. Dengan mata yang bercampur antara ragu dan juga penasaran, seruputan pertama dilakukan Darwin untuk cangkir pertama Kopi Luwaknya. Setelah itu kombinasi matanya berubah menjadi berbinar dan juga berseri. Ia kemudian berteriak senang sembari sedikit mengupat, betapa unik dan enaknya rasanya kopi yang pertama kali baru ia rasakan tersebut.
Namun binar di matanya hanya bertahan tidak lebih dari satu menit. Binar itu lantas kuhancurkan dengan menjelaskan proses terciptanya Kopi Luwak. Kujelaskan bahwa semuanya diawali dengan para petani kopi yang hanya memilih kopi-kopi warna merah mengkilat untuk dipetik. Setelah itu mereka merendam kopi-kopi merah tersebut dalam bak penuh air. Hal tersebut dilakukan untuk memilah mana biji kopi  yang telah matang dan mana biji  kopi yang belum sempurna. Dimana biji kopi yang baik akan tenggelam sedangkan yang tidak akan mengapung dengan sendirinya. Biji kopi yang sempurna segera dimasukan ke kandang Luwak untuk dimakan binatang tersebut. Luwak tersebutlah yang kemudian dengan indra penciumannya akan memilah kembali mana biji kopi paling matang sekaligus paling sempurna untuk dia makan. Di dalam perut Luwak tersebut nantinya biji kopi tersebut akan mengalami proses fermentasi. Barulah biji kopi yang telah mengalami proses fermentasi dan dikeluarkan dari perut Luwak akan diproses menjadi Kopi Luwak.
Setelah menjelaskan hal itu, Darwin tidak bisa menutupi rasa terkejutnya, “What the…? Eww….Shit!
Yes, shit.” Aku tidak bisa menahan sakit di perutku melihat ekpresi gado-gado yang diperlihatkan dari wajah Darwin.
Lama Darwin tercenung menatap penuh dilema pada cangkir Kopi Luwak yang ada di depannya. Aku tidak tahu perang batin macam apa yang sedang terjadi di kepala Darwin yang tertutupi rambut cepak warna pirangnya tersebut. Hingga kemudian seperti orang yang baru saja mendapatkan inspirasi, Darwin lantas menarik nafas panjang dan juga dalam. Ia menatap kami berdua dan berujar, “Whatever, I loved it!” setelah itu Darwin menandaskan Kopi Luwak yang ada di tangannya. Disambut kami berdua yang hanya bisa terkik. Ya kami, aku dan Angel. Angel, Malaikatku.
“Nggak kerasa ya, udah empat tahun saja kita nggak ketemu.” Angel melirikku, membuatku segera kembali ke masa kini. Sekaligus membuat debar Jantung misterius yang telah lama menghilang kembali lagi. Hanya malaikatku yang mampu melakukan itu.
“Kalian tuh yang sibuk jadi arsitek di luar negeri. Dasar nggak nasionalis.” Sambungku dengan menggerutu.
“Yah mau gimana lagi, aku kan waktu itu statusnya masih arsitek junior. Nebeng abangku pula. Jadi waktu kantor abangku pindah ke New York, aku  terpaksa ikut. Tapi aku tetap nasionalis kok. Buktinya selama di New York, aku tetap beli albumnya Anggun C. Sasmi sama sekali-kali dengerin lagunya Meggy Z dan Rhoma Irama kok. Sueer!” ucap Angel dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin.
Aku mengalihkan perhatianku kepada Darwin. “Kalo lo gimana bule?”
Me? Are you jokes? First, I’m not one hundred persen  Indonesian. Darah Nenekku yang orang Surabaya bakal kalah dikeroyok sama darah kakekku, Bapakku dan ibuku yang sama-sama punya darah Belanda. Kedua, kesejahteraan di Belanda lebih terjamin. So yes… saya lebih pilih kerja di Amsterdam. Bye.. bye.. Bambang Pamungkas. Hidup Van Nistelrooy!” Jawab Darwin dengan menggebu.
“Oh ya gue lupa. Lo kan penjajah.” Balasku.
Damn it!
Angel kembali menatapku membuat dadaku lantas diserang ngilu. “Oh ya Vito, aku denger kamu baru saja nyelesain proyek pembangunan Rumah Sakit di Bandung ya? Kereen.”
Aku mengangguk pelan sembari berusaha menutupi wajahku yang mendadak memerah.
“Rumah Sakit? Aku pikir, cuma sifat kamu saja yang kaku ternyata sampai ke kerjaan arsitek ikut-ikutan juga? Sebentar lagi kayaknya kamu bakal ngerjain proyek gedung Rumah Sakit Jiwa. Boring!” Darwin ikut menyahut.
Boring? Itu namanya sesuai dengan STEFA (Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur), meneer. Lagipula buat apa bikin bangunan yang kebanyakan gaya. Yang penting dalam membangun sebuah bangunan itu fungsional dan tahan lama.” Aku tidak mau kalah.
Darwin menatapku dengan geli, “Ya .. ya, saya lupa kamu kan penganut ajaran Tadao Ando. Arsitek asal Jepang yang selalu bilang ‘Kesahajaan pada karya-karya arsitek yang menekankan pada konsep sensasi dan pengalaman fisik adalah sesuatu yang … whatever itulah.” Darwin menutup kalimatnya dengan geleng-geleng kepala.
Kupingku tersengat mendengarnya. Empat tahun tidak bertemu dan sekalinya bertemu, Bule penjajah ini seenak jidat mencibir arsitek idolaku. Tak pernahkah ia membaca buku bahwa Tadao Ando tidak pernah mengenyam pendidikan arsitektur dan mempelajari semua ilmu arsitektur secara otodidak? Bahkan ia menjadi seorang sopir truk dan petinju sebelum menjadi seorang arsitek. Ingin rasanya aku menabraknya dengan truk di ring tinju.   “Aku sudah lihat rancangan rumah tropis futuristikmu itu! Kamu bilang itu futuristik? Itu lebih mirip rumah alien.” Balasku tak kalah sengit.
“Itu karena mental otakmu yang masih old school.” Darwin kembali menjawab.
Perseteruan diantara kami berdua terhenti sejenak ketika ada pelayan yang menghidangkan tiga cangkir Kopi Luwak yang telah kami pesan. Setelah tiga cangkir itu tersaji sempurna, aku ingin melanjutkan perdebatan tersebut. Namun sebelum itu terjadi ternyata Angel lebih dulu memilih bersuara, “Di New York, aku pernah bantuin abangku buat ngerancang bangunan untuk sebuah yayasan amal. Memang sih konvesional tapi mengetahui fungsi dan manfaatnya ketika bangunan itu sudah jadi, ada kebanggaan yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Aku juga pernah ikut proyek kecil-kecilan untuk merancang ruang bawah tanah buat salah satu jutawan yang kebingungan ngabisin waktu senggangnya. Futuristik membutuhkan imajinasi dan keterampilan, itu menyenangkan. Jadi bisa dibilang aku menikmati keduanya,” ujar Angel sembari menyeruput cangkir yang telah ada di hadapannya.
Aku dan Darwin hanya diam sambil saling menatap satu sama lain. Setelah meletakan cangkir kopinya, Angel kembali melanjutkan kalimatnya, “Selama masih mematuhi tiga nilai dasar dalam ilmu arsitektur yaitu struktur, fungsi dan keindahan, mau konvesional kek, mau futuristik kek, nggak ada bedanya. Nggak ada yang lebih baik ataupun yang lebih kurang. Itu semua hanya soal selera.”
Resmi sudah, kalimat dari Angel barusan memadamkan api pertikaian antara aku dengan Darwin. Empat tahun tidak bertemu namun ternyata tidak pernah ada yang berubah dari kami bertiga. Darwin tetap si bule brengsek yang mau menang sendiri, aku tetap si kaku yang kadang saklek dan Angel adalah malaikat yang selalu mampu menjadi penengah diantara kami berdua. Selama empat tahun atau bahkan tujuh tahun, ada juga satu hal yang tidak pernah berubah. Yaitu perasaanku yang mengendap lama untuk  Angel, sahabat terbaikku. Perasaan yang akarnya telah jauh mengendap di dadaku. Dan hari ini kuputuskan untuk memberitahu semuanya.

                                                          ******

Aku menghirup secangkir kopi Luwak dengan perlahan-lahan. Ada kenangan lama yang entah kenapa juga ikut terhirup bersama larutan kopi tersebut. Apalagi dengan suasana Fulcaff Café yang tidak terlalu banyak berubah. Kombinasi antara Kopi Luwak dan juga tiap sudut dari Fulcaff Café lantas membuat kenangan lama ikut menyeruak. Kenangan ketika kami bertiga baru pertama kali bertemu. Aku yang semenjak lama lahir dari keluarga arsitektur telah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang arsitek. Dan pilihan utamaku waktu itu adalah ITB jurusan arsitektur. Namun sayangnya, aku malah terdampar di Universitas Katolik Parahyangan walaupun masih dengan jurusan yang kuinginkan yaitu arsitektur. Namun ternyata disanalah segalanya bermula.
Tak perlu mantra khusus untuk membuat Darwin Rijkaard menjadi pusat perhatian seluruh mahasiswa. Tentu dengan kulit asingnya, rambut pirangnya dan bahasa Indonesianya yang beraksen Belanda sudah cukup menjadi alasannya. Namun aku baru tahu bahwa sesungguhnya yang membuat Darwin menjadi pusat perhatian terutama bagi kaum hawa adalah bola matanya yang berwarna biru mengkilat. Membuat banyak orang rela betah berlama-lama mengobrol dengannya. Ayah dari Darwin nyatanya sedang mendapatkan pekerjaan di Bandung waktu itu, membuat mereka sekeluarga harus ikut bersamanya. Untungnya Neneknya yang memiliki darah Surabaya dan kombinasi bahwa waktu kecil dia pernah tinggal di Depok untuk beberapa waktu membuat Darwin mudah beradaptasi. Waktu kuliah banyak yang tidak percaya bahwa aku berteman baik bahkan dekat dengan Darwin. Darwin yang populer tentu banyak yang berpendapat tidak cocok disandingkan dengan aku yang sunyi senyap. Aku sangat setuju dengan hal itu. Malah aku sendiri kadang masih heran, bagaimana persahabatan itu bisa tercipta. Aku jarang sepakat dengan Darwin. Kami lebih sering berdebat. Dia percaya reinkarnasi sedangkan aku lebih percaya evolusi. Aku lebih suka mendengarkan Frank Sinatra sedangkan dia malah  tergila-gila dengan Metallica.  Dia mengagumi Clavatra Santiago sedangkan aku tidak bisa berpaling dari Tadio Ando. Aku suka bakso sedangkan dia malah suka Soto. Namun kami berdua layaknya dua kutub yang berbeda namun kemudian ditakdirkan malah saling tarik menarik.  
Namun perhatianku sesungguhnya terfokus pada Angel, malaikatku. Bagiku, dia adalah embun yang mengendap-endap di pagi hari. Dia datang tanpa perlu alasan namun kehadirannya selalu menyejukkan. Pertama kali aku mengenalnya karena dia duduk tepat di depanku. Jikalaupun surga harus kudefinisikan. Barangkali cukup punggung itu. Sepetak tanah surga yang setiap waktu ingin kucoba untuk diraih. Nirwana yang ada di depan mata namun tangan ini terlalu jauh untuk menggapainya. Dan ketika punggung itu berbalik, keberanianku melenyap entah kemana. Padahal menurut Angel aku adalah sahabat terbaiknya setelah Darwin tentunya. Dia beralasan bahwa tidak pernah ada teman curhat sehebat aku. Ya teman curhat… tidak kurang apalagi lebih, terima kasih. Sudah berulang kali, aku mendengar berbagai macam pria yang mampir di hati Angel dan pergi tanpa permisi. Dan selama itu pula aku selalu tahu posisiku dimana. Orang yang akan selalu menyediakan pundaknya agar Angel bisa menangis sepuasnya atau bahkan mengumpat sepuasnya. Aku tidak pernah memilih pergi meskipun aku selalu tahu bahwa bukan aku orang yang ditangisi oleh Angel maupun yang diumpat olehnya. Aku adalah orang yang dicari ketika hatinya pincang dan kelenjar air matanya ingin meledak.  Selama bertahun-tahun tidak pernah aku cacat dalam menjalankan profesi tersebut. Sembari terus berharap bahwa akan ada kesempatan terbaik untuk mengungkap segala perasaan yang dimiliki.
Hingga kemudian kesempatan tersebut tidak pernah datang malah diganti dengan kenyataan bahwa kami bertiga harus berpisah. Setelah berhasil lulus kuliah, kami memiliki jalan masing-masing. Darwin kembali ke kampung halamannya yaitu Amsterdam untuk mengejar karirnya sebagai arsitek disana, sedangkan seperti yang diketahui Angel pergi ke New York bersama dengan abangnya sedangkan aku lebih memilih untuk bertahan di tanah air. Belanda, Amerika dan Indonesia. Tiga Negara dimana kami terpisah. Amsterdam, New York dan Bandung. Tiga kota dimana cita-cita kami gantungkan. Fulcaff Café dan Kopi Tubruk, kombinasi yang lantas menyatukan kami bertiga setelah empat tahun berjarak. Persahabatan dan cinta, dua rasa yang saling berkejar-kejaran di pikiranku saat ini.

                                                          ******

Kopi milikku tinggal separuh. Namun jantung ini tak hentinya berdebar tidak karuan. Nyatanya sebelum mereka berdua sampai di kafe ini, aku terlebih dahulu menyiapkan sebuah rencana. Yaitu dengan mengajak bekerja sama barista di tempat ini dan memintanya membuat coffe latte art sesuai permintaanku. Yaitu latte art berbentuk wajah dari malaikatku, Angel. Dengan memberikan foto Angel dengan angle terbaik yang selalu kusimpan di dalam dompetku. Dimana nantinya kopi latte art itu baru akan disajikan kepada Angel sesuai  dengan isyarat yang aku beri. Barulah ketika kopi dengan latte art tersebut tersaji akan aku ungkapkan segalanya. Tentang perasaan milikku yang mengendap selama bertahun-tahun dan tentang keinginanku memiliki malaikatku seutuhnya. Selain itu sedari tadi aku terus mengecek isi jasku. Disanalah tersimpan bunga Daffodil yang sempat kubeli di pinggir jalan sebelum kesini. Aku selalu tahu bahwa bunga Daffodil adalah bunga favorit Angel. Rencana ini sudah kupikirkan berhari-hari sebelum pertemuan ini terjadi. Semuanya sudah kupersiapkan dengan perhitungan yang sempurna.
“Jadi bagaimana soal pembangunan kedai yang di Jogja?” pertanyaan dari Darwin segera mengaburkan pikiranku.
“Berees, tinggal nego soal harga. Cincailaah… kalian jadi bantuin aku kan?” Angel menatap kami berdua.
“Pasti.” Jawab aku dan Darwin hampir bersamaan.
“Walaupun aku sedikit ragu, bakalan bisa kerja sama dengan arsitektur gaya kaku macam dia.” Darwin menatap kearahku dengan terkikik.
“Sialan,”
Selain untuk melepas kangen, pertemuan kali ini juga atas permintaan langsung dari Angel. Dimana Angel baru-baru ini keluar dari kantor biro konsultan miliknya abang. Ternyata Angel ingin menjajal karirnya sebagai arsitek di setapak jalan yang ingin ia bangun sendiri. Tidak mudah tentunya. Untuk itulah Angel memilih untuk menjadi seorang freelancer dan menjaring konsumen dari lingkaran pertemanannya sendiri. Sehingga ketika ada temannya yang akan membangun sebuah usaha kedai kopi dengan sedikit memberanikan diri, Angel menawarkan jasanya sebagai arsitek. Dengan asas saling membantu dan juga saling menguntungkan akhirnya Angel mendapatkan kesempatan tersebut. Namun karena belum percaya diri untuk mengerjakannya seorang diri maka Angel meminta bantuan dari aku dan Darwin. Angel percaya bahwa kontribusi kami berdua sebagai arsitek akan sangat membantunya dalam proyek ini. Entah itu saran, informasi ataupun sekedar juru semangat. Aku akan selalu ada disampingnya.
“Pokoknya kalau proyek ini sampai gol dan temen aku suka, aku makin yakin buat bikin biro konsultan sendiri.” Ucap Angel dengan semangat. Aku dan Darwin hanya bisa mengangguk saja.
“Oh ya, katanya Vito mau ngomong sesuatu.” Angel kini melirik kearahku.
Really? Kamu mau ngomong kalau kamu udah MRI kepala kamu dan ternyata otak kamu bentuknya  persegi panjang?”
Celaan dari Darwin sama sekali tak kugubris, “Emm….” Aku berusaha memberikan isyarat kepada barista untuk mengeluarkan kopi yang telah kupesan.
Wait.. wait, sebelum kamu ngomong sesuatu. Kita mau ngomong sesuatu lebih dulu sama kamu.” Cegah Darwin dengan cepat.
Keningku berkerut ketika Darwin menyebut “kita”. Pandanganku langsung menatap ke arah Darwin dan juga Angel. Apa maksudnya dengan kita?
“Nanti saja, biarin Vito selesain omongannya.” Angel menyela terlebih dahulu.
Darwin malah menatap balik Angel dengan tatapan memelas, “I can’t wait any longer, Love.”
Love? Aku pasti salah dengar.
Angel menarik nafas sebentar dan menganggukan kepala  seakan sebagai pertanda untuk memberikan persetujuan kepada Darwin. “Jadi begini, aku dan Angel, kita berdua sudah jadian.”
Mendadak seperti ada godam yang menghantam hati dan kepalaku. “Kapan?” dengan bergetar, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Sekitar dua bulan yang lalu.” Malaikatku menimpali … atau bukan.
Kemudian seperempat jiwaku yang masih tersadar, menjadi pengganti sisa dari jiwaku yang hilang entah kemana untuk mendengar cerita berikutnya. Dengan sedikit samar-samar, aku mendengar suara yang menceritakan bahwa tepat ketika hari ulang tahunnya, Angel tidak pernah melupakan hari itu. Ada seorang pria yang mengigil di tengah hujan salju berdiri di depan pintu apartemennya sembari membawa bunga favoritnya yaitu bunga Daffodil. Pria tersebut rela melakukan penerbangan dari Amsterdam menuju ke New York hanya untuk mengucapkan “Selamat Ulang Tahun”. Angel yang menduga bahwa Darwin adalah pria yang tidak romantis, namun hari itu mengubah segala pandangannya terhadap Darwin. Darwin adalah pria yang rela berkorban demi mendapatkan tujuan hatinya. Semenjak itulah kisah mereka berdua dimulai. Cerita kemudian berlanjut bahwa mereka berdua mengakui bahwa mereka berdua ternyata telah menyimpan hati masing-masing di pertemuan pertama. Namun lingkaran persahabatan adalah alasan mereka untuk menahan perasaan tersebut. Namun Darwin mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi. Ia mengambil semua resiko untuk mengungkapkan segalanya.
“Angel yang nyuruh aku buat ngasih tahu hubungan ini sama kamu ketika kita bertiga sudah kumpul bareng. Biar surprise katanya. And i think it worked. Look at your face, dude. You like you’ve seen a ghost.” lanjut Darwin menggenapkan nyeri di hati dan kepalaku.
“Sekarang, giliran kamu.”
Aku mengumpulkan kembali jiwaku yang tercerai berai. “Emm… sebenarnya, sebenarnya … aku ada proyek gedung Rumah Sakit lagi.” Jawabku sekenanya berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya.
“Sudah kuduga, kayaknya otakmu memang benar-benar persegi panjang.” Cela Darwin.
“Good luck, Vito. Aku yakin kamu pasti bisa kok.” Senyuman Angel nyatanya malah semakin memporak-porandakan isi hatiku.
Tanpa perlu diaba-aba, Angel mengambil cangkir isi kopinya dan memamerkannya di udara, “Untuk pertemuan kita dan proyek arsitek bersama. Yuhuu.”
Darwin tidak ingin kalah, ia juga melakukan hal yang sama. “Untuk proyek Rumah Sakit Vitto dan otak persegi panjangnya,”
Angel dan Darwin lantas menatap ke arahku. Sejenak, aku mengecek kesaku jasku. Hanya untuk memastikan bunga Daffodil itu tidak pernah diketahui keberadaanya. Seperti perasaanku yang kuharapan tidak pernah diketahui juga keberadaannya. Selain itu aku juga memberikan isyarat menggelang kearah barista yang sedari tadi menungguku. Isyarat tersebut sebagai tanda untuk tidak pernah menggeluarkan kopi latte art yang telah kupesan. Membiarkan kopi itu dingin untuk menemani hatiku yang membeku.
Dengan perlahan dan juga sedikit gemetar, aku mengambil cangkir kopi yang ada di depanku dan menjunjungnya sedikit ke udara, “Untuk kalian berdua.. semoga bahagia.”
Mataku sempat  melihat kebingungan di wajah Darwin dan Angel dengan kalimat yang barusan kuucapkan. Aku sendiri tidak tahu kenapa kalimat itu bisa meluncur begitu saja. Hal tersebut ditutup ketika kami bertiga menciumkan gelas kopi masing-masing. Setelah itu, perlahan-lahan aku menghirup sisa kopiku yang masih tersedia. Seperti sakit hati yang juga harus kucerna perlahan-lahan. Bersamaan dengan itu ada sedikit ampas pahit yang tertinggal di lidahku setelah menghirup kopi itu. Barangkali itulah kopi, itulah cinta. Manis dan pahit dalam waktu bersama.





 Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com


No comments:

Post a Comment